Karena kecantikan Leona wajib dishare.
***
"Dia masih belum pulang juga?"
"Kalau Levant sudah pulang, ngapain aku nelpon kamu, ha? Kamu punya otak nggak, sih?!"
"Kamu masih nanya?" jawaban yang terdengar di seberang telepon menjadi lebih lembut. "Jelas aku nggak punya, makanya aku masih berkeliaran di sekitar kamu, kan? Saya mikir nggak pake otak, tapi pakai hati."
Leona mendengkus. Bolamatanya hampir menggelinding keluar karena kelewatan diputar. Dia selalu merasa ingin membenturkan kepala Aiden ke tembok jika mendengar pria itu bicara. Kenapa Aiden begitu bebal? Kenapa berapa kali dimaki pun, pria itu masih akan terus berada di area yang selalu bisa ia jangkau? Tidak seperti Levant.
Dan itu rasanya tidak adil.
"Itu kenapa kamu nggak pernah mengerti ancamanku untuk berada dalam radius minimal seratus meter."
"Tepat," Aiden terdengar mengaminkan. Bahkan Leona merasa yakin pria itu sedang tersenyum bangga. "Dan aku bangga nggak punya otak."
Astaga! Jika Leona terus meladeni pria tidak waras itu, bukan mustahil ia akan kembali jatuh dalam perangkap gombalan Aiden.
"Yaudah. Tetaplah kayak gitu. Enggak punya otak."
Sahutan Leona terdengar parau, pelan. Dan ia tidak membiarkan Aiden untuk menaruh curiga karena, segera setelah mengucapkannya, ia memutuskan sambungan telepon. Seperti kebiasaannya.
Gadis itu menarik napas dan menarik diri ke belakang, membiarkan tubuhnnya jatuh telentang di atas tempat tidur King sized dengan selimut berwarna kelabu gelap. Itu tempat tidur Levant. Dan ia masih belum tahu kemana si pemilik kamar itu perginya. Levant meninggalkan ponselnya begitu saja tanpa siapapun punya petunjuk kemana ia pergi. Leona sudah berjam-jam menunggu di sini, merasa seperti orang tolol.
"Levant keparat!" umpatnya di bawah napas. "Liat aja kalau kamu pulang nanti!"
Leona berguling ke sisi, bermaksud membuat dirinya duduk kembali. Namun gerakannya terhenti ketika justru, tanpa sengaja ia menekan sesuatu di bawah selimut. Ia menyibak selimut tersebut dan menemukan sebuah botol kecil. Milik Levant.
***
Setelah mengawasi Ayres dan Nasya yang berlarian menuju rumah dengan menenteng satu set kunci, berebut siapa yang berhak untuk membuka pintu, Hafa turun belakangan dari mobil Levant. Sempat ia berbalik untuk menatap pria di belakang kemudi selama beberapa waktu, tanpa mengatakan apa-apa. Terimakasih sudah ia ucapkan berkali-kali sebelumnya, tidak perlu berulang lagi.
Dan pria itu melakukan hal sama. Ia menatap Hafa, dalam diam, seperti ingin mengatakan sesuatu namun tidak ada yang berhasil lolos dari bibirnya.
Mereka membiarkan kediaman itu mengambil detik-detik waktu keduanya. Hingga, Hafa tersenyum. Dan sudahkah Levant pernah mengatakan gadis itu punya senyum yang seakan menukil serpihan matahari pagi? Di luar perintah otaknya, Levant menemukan dirinya balas tersenyum, yang meski tipis dan terkesan setengah, ia berusaha melakukan yang terbaik dengan bibirnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomanceTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...