"Bagaimana dengan proyek A-One Group? Apakah sudah terjual?"
Usai Levant bertanya, ruangan yang hening itu berkali lipat menjadi lebih hening. Tdak ada yang bersedia mengangkat wajah dan menatap Levant lebih lama dari satu detik, meski sebenarnya yang Levant lakukan hanya menatap laporan-laporan di tangannya. Semuanya menghindar, seolah bertemu tatap dengan Levant adalah jaminan mereka akan kehilangan penghidupan di detik berikutnya.
"Remy Adrianata?" ekor matanya mengedar ke sekeliling ruangan. Ia tidak menemukan orang yang dipanggil di manapun.
"A-One Group... batal diakuisisi oleh IN-Tech, Sir," seseorang memberanikan diri bicara. Levant mendelik padanya.
"Pak Chairman sendiri yang memerintahkan. Beliau kembali memberikan suntikan dana untuk A-One Group, dan mengembalikan otoritas perusahaan pada putra Pak Adrianata."
"Pak Chairman?"
"Iya, Sir. Itu karena kedekatan Pak Chairman dengan Pak Adrianata sehingga mereka meminta kesempatannya kembali, langsung kepada Pak Chairman. Mereka berjanji tidak akan bangkrut dengan tambahan dana yang Pak Chairman berikan itu."
Kebosanan menghampiri Levant begitu mendengarkan penjelasan dari Harlan. Tipikal, pikirnya. Basi. Ia menambahkan senyum nyaris menyeringai yang tipis setelahnya. Khas dia. Dan setiap mata di sana semakin tertunduk dalam.
"Percuma. Walau bagaimana pun mereka akan hancur. Terlalu banyak tangan-tangan kotor di sana. Mereka mempekerjakan manusia-manusia tidak becus yang hanya memikirkan urusan perut dan uang. Lihat saja." Levant menarik napas. Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja.
"Kita hanya tinggal menunggu waktu untuk melihat kehancuran A-One."
***
Rapat berakhir sekitar setengah jam kemudian. Levant keluar lebih dulu dari ruangan diikuti sang sekretaris, seperti biasanya. Ia baru beberapa langkah melewati pintu, berjalan di koridor menuju lift untuk kembali kantornya saat lagi-lagi sakit kepala hebat menyerang,. Sakit kepala beserta mual tak tertahankan. Pria itu nyaris roboh jika saja sang sekretaris, dan manager divisi lain tidak menahannya.
"Pak! Bapak tidak apa-apa?!" Semua orang panik.
"Tunggu di sini. Saya cariin obat buat Bapak."
Namun, di antara kepanikan itu, Levant memaksakan diri untuk menggeleng. "Saya... punya obat di laci meja kerja."
Ia teringat obat sakit kepala yang belum terpakai dan masih ia simpan dari gadis itu. Dibimbing sekretarisnya, Levant pergi ke ruangannya dan meminum obat yang ia temukan di tempat yang sama dengan terakhir kali ia melemparnya sembarang. Ternyata tidak sia-sia gadis itu menyuruhnya menunggu waktu itu. Levant tersenyum.
Ia memperhatikan kemasan obat itu lagi, melihat kertas memo beriso catatan hutang itu lagi dan menyadari ada tulisan lain di balik kertas.
Saya punya teman seorang dokter. Kalau kepala kamu sakit lagi, kamu ke rumah sakit aja. Ini saya kasih nomor telpon dan alamatnya.
Levant berdecak. "Lebay."
***
Tidak masuk akal. Levant sekarang menemukan dirinya tengah menunggu antrian untuk check up di Rumah Sakit dan menyadari ini benar-benar tidak masuk akal. Kenapa ia harus menuruti gadis itu? Atau pertanyaannya, kenapa ia terus teringat pesan gadis itu hingga mengganggunya dan berakhir dengan membawa dirinya ke sini? Apa gadis itu memantrai kertasnya?
Lamunan Levant harus terpotong ketika namanya berikut nomor antrinya disebutkan. Sambil melangkah kaku, pria itu masuk, sedikit terkejut menemukan dokter yang ia kenali di sana. Ia ingat melihat dokter itu setelah kecelakaan seminggu yang lalu.
"Oh, kamu lagi?" sapa sang dokter. Levant melirik nametagnya, mengetahui bahwa dokter muda itu bernama dr. Evandaru Irawan.
"Apa ada masalah?" tanyanya. "Apa... berhubungan dengan bekas kecelakaan kamu kemarin?"
***
Itu adalah pemeriksaan menggunakan CT-scan pertama yang Levant sadari dan atas kemauannya sendiri. Ini bukan kali pertama ia masuk rumah sakit dan berurusan dengan berbagai kabel dan selang. Darah, infus, obat-obatan sudah sering keluar masuk melewati tubuhnya dalam kadar yang tidak bisa disebut normal. Mungkin jantungnya sudah dipompa berkali-kali, kulitnya dicolok dengan jarum berpuluh-puluh kali, dan ia tidak pernah bisa protes atasnya. Semua percobaan bunuh diri yang gagal itu membuatnya terbiasa berhadapan dengan aroma memuakkan rumah sakit. Ia sudah hampir bisa dikatakan berteman dengan obat-obatan dan alat-alat operasi, hebat sekali.
Setelah melakukan obrolan singkat seputar sakit kepalanya, tentu Daru tidak dapat menyimpulkan begitu saja tentang migrain yang Levant alami, pemeriksaan mendalam melalui CT-scan itu diperlukan.
"Saya kira... orang sesibuk dan sepenting kamu biasanya tidak mau meluangkan waktu untuk memeriksa kesehatan? Orang-orang sepertimu biasanya terpaksa pergi ke Rumah Sakit setelah sesuatu yang fatal terjadi. Saya salut," gumam Daru dalam basa-basinya demi membuat ruangan tidak lagi terlalu sunyi. Pemeriksaan telah selesai, ia hanya perlu membereskan sampel dan alat-alat.
Levant tersenyum tipis. Ia sendiri tidak mengerti kenapa ia mau-maunya pergi ke sini dan membuang waktu. Kalau boleh, ia ingin mengatakan itu. Tetapi ia sendiri malas membahasnya.
"Seseorang memberikan saya alamat rumah sakit bahkan nomor telepon Dokter." Levant geli sendiri untuk topik yang satu ini.
"Seseorang?" Daru menaikkan alisnya.
"Hm. Teman Dokter. Perempuan yang bernama Hafa itu."
"Hafa?! Kamu kenal dia?!" Tanpa dikehendakinya, suara Daru mendadak meninggi dan terdengar waspada, sebelum ia akhirnya cepat-cepat berdeham dan bersikap normal kembali. Hanya saja, itu jelas tidak bisa mengecoh Levant. Pria itu terlanjur curiga sehingga ia tidak bisa menghentikan tatap selidiknya.
"Dokter... sepertinya cemburu."
Daru tidak segera menjawab, ia bahkan tidak membalas tatapan tajam Levant, hanya pura-pura sibuk membenahi semua peralatan yang sebenarnya tidak begitu perlu dibenahi.
"Omong-omong, kamu bisa pulang dulu dan mengambil hasil scan-nya dua hari lagi."
Levant hanya mengangguk nyaris tak kentara.
***
Habis ini update 2 hari sekali, ya.
Terima kasih vote dan komennya yang selalu menjadi penyemangat <3
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomanceTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...