43. Doa Di bawah Hujan

8.5K 1.4K 203
                                    

            Satu-satunya saat ketika Hafa mungkin tidak bisa berada di samping Levant adalah saat sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

            Satu-satunya saat ketika Hafa mungkin tidak bisa berada di samping Levant adalah saat sekarang. Ia meninggalkan kursinya demi menyilakan Arun Aditya, ayah Levant untuk duduk di sana. Pria itu... memiliki wajah yang dingin dan keras, yang membuat siapapun akan segan padanya. Namun dari bahunya yang luruh, atau tatapannya yang hampa, Hafa dapat menebak, pria itu juga tidak baik-baik saja.

Pria yang masih menyimpan kegagahan masa mudanya meski diliputi dengan keriput di wajah itu memperhatikan Levant baik-baik. Bibirnya mengatup rapat menyadari betapa pucatnya Levant, betapa semakin kurus ia, betapa putranya itu tidak lagi tampak sebagai pembangkang dalam keadaan seperti sekarang. Dan tiba-tiba ia merasa ketakutan dengan pikirannya sendiri. Selama ini ia belum pernah membayangkan, bagaimana jika pembangkang kecilnya itu tidak ada. Bagaimana? Jika putra satu-satunya pergi lebih dahulu darinya?

Ayudya Devara berdiri di sisinya, mencoba tegar dengan menahan dirinya mati-matian agar tidak meraung dan meratapi putranya. Ia menutupkan sapu tangan ke mulut dan hidungnya, sebuah upaya pengalihan. Selain suara isak pelan tertahan dari wanita itu, tidak ada suara lainnya lagi. Ruangan itu hening. Hening yang terasa melelahkan.

"Levant." Sampai akhirnya Arun Aditya memecah kesunyian mengerikan itu. Terdapat getar dalam suara tegasnya. Ia memegangi tepian ranjang kuat-kuat, seolah sedang berusaha menjaga dirinya tetap tegak seperti sekarang. "Anak bodoh, cepatlah sadar! Banyak ... banyak orang yang mengkhawatirkanmu. Banyak tanggung jawab perusahaan yang kamu tinggalkan dan sekarang terbengkalai. Kamu harus bangun sekarang!"

Bukan itu sebenarnya, yang ingin dia katakan. Ia ingin Levant bangun, untuk alasan yang tidak bisa ia ucapkan. Kata-kata yang, selama hidupnya bahkan, tidak pernah ia loloskan dari bibir. Meski ia ingin. Meski ia merasakannya.

Ketegasan dan kedisiplinan adalah caranya mendidik, adalah sesuatu yang selalu berusaha ia terapkan. Jika Levant melakukan sesuatu yang salah ia akan marah, caranya untuk mendisiplinkan anak itu, seperti apa yang dulu kakek Levant lakukan padanya. Namun jika anak itu melakukan sesuatu yang benar... ia tahu ia seharusnya memujinya. Seharusnya ia mengatakan padanya bahwa ia bangga. Ia sangat bangga. Tetapi ia tidak pernah bisa melakukannya. Ia tidak pernah bisa mengatakannya, sampai detik ini.

"Levant... bangun, Nak. Semua orang mengkhawatirkan kamu. Ayah... mengkhawatirkan kamu. Ayah... menyayangi kamu."

***

Leona membuka pintu mobil dan siap menjejakkan wedges berhak rendahnya ke aspal parkiran ketika akhirnya ia membatalkannya. Ia menoleh pada pria di belakang kemudi di sampingnya. Ada keraguan yang aneh di mata berlensa hijau itu, yang tidak terlihat seperti Leona biasanya, seorang Leona Karlesha Bekker yang keras kepala.

"Kamu yakin nggak mau masuk?"

Aiden menggeleng, untuk ke sekian kalinya. "Levant.., aku nggak mengenalnya selain dari cerita-cerita kamu. Lagipula, di sana pasti akan banyak keluarganya, dan kamu perlu waktu sendiri buat bicara sama mereka, buat bicara sama Levant... Aku hanya bakal jadi orang asing, Nana."

The Tale of Rain [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang