21. Pacar

10.7K 1.9K 146
                                    

Eh, Wattpad sekarang ada fitur ngaca, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eh, Wattpad sekarang ada fitur ngaca, ya.

***

Angin berhembus kencang. Dan naik di belakang sebuah motor sport, tanpa pengaman apapun, membiarkan angin meniup rambutnya ke belakang, bahkan terasa hampir meniup badannya juga, adalah hal yang jauh berbeda dengan bersepeda santai atau menumpang mobil, apalagi naik bus. Hafa memejamkan mata dan berpegangan kuat-kuat pada bagian belakang motor, menolak gravitasi yang membuatnya harus menempel pada punggung Levant, juga menolak untuk berpegangan pada bagian tubuh mana saja dari pria itu.

"Bapak! Kalau ada polisi gimana?! Kita bisa kena tilang!" Hafa meneriakkan satu dari sekian ketakutannya, sementara Levant menggubrisnya hanya dengan tawa.

"Kita ngebut biar nggak ketangkep."

"TERUS KALAU NABRAK TERUS SAYA MATI GIMANA?!"

Hafa merasa nyawanya bisa melayang kapan saja. Dan Levant memperburuk semua itu dengan tidak melambatkan laju motornya. Meski sebenarnya, pria itu jelas-jelas melihat ekspresi mau mati di wajah Hafa. Seolah hal itu menjadi hiburan tersendiri baginya.

Setelah menyurutkan tawa, Levant juga melambatkan sedikit laju motornya, memberikan gadis itu kesempatan untuk mendengar dan melakukan apa yang kemudian ia suruh.

"Pegangan aja."

Bagaimana reaksi seorang gadis jika ditawari pelukan pinggang oleh seorang Levant Elenio Devara? CEO muda yang didesas-desuskan sebagai lambang pria dingin, kaya dan luar biasa tampan? Semua gadis waras mungkin tidak akan menyia-nyiakannya. Itu, kalau mereka masih punya cukup pertahanan untuk tidak pingsan di tempat.

Tetapi gadis yang duduk di belakangnya itu mungkin tidak waras. Ia bekeras menggeleng dan hanya berpegangan kuat-kuat pada bagian motor yang bisa ia jadikan pegangan. Levant menyeringai dan menaikkan laju motornya kembali, membuat gadis itu nyaris mati di tempat ketika akhirnya motor berhenti. Levant menoleh padanya, wajahnya pucat dan buku-buku tangannya memutih. Gadis itu tetap tidak mau pegangan.

***

"Kita dimana?!"

Keterkejutan dan kepanikan terpancar di wajah Hafa yang pucat. Ia mengedarkan matanya ke sekeliling dan yakin seratus persen lebih bahwa ini bukan rumahnya atau lingkungan tetangganya. Terbukti dengan keabsenan jalan gang sempit dan rumah-rumah kecil yang sering ia lihat. Sejauh mata memandang adalah jalanan lengang di atas area perbukitan. Tidak ada manusia lain sejauh mata memandang. Jadi, seumpama pria ini berbuat sesuatu, memutilasinya misal, Hafa tidak tahu harus kepada siapa ia berteriak minta tolong.

Sementara di hadapannya, berdiri megah bangunan bercat putih dengan desain memesona, dengan jendela-jendela raksasa yang membuat Hafa merasa seperti dilempar ke tanah Eropa di masa silam. Atau Amerika, entahlah.

Tanpa mengatakan apa-apa, Levant menariknya, melewati lobi bergaya Amerika di abad pertengahan, membawanya ke lantai dua dimana material kayu mendominasi. Arsitekturnya lagi-lagi membuat Hafa terperangah, dengan kandil raksasa bergaya kontemporer disematkan di tengah bangunan dan dua buah meja komunal berdiri manis di bawahnya.

The Tale of Rain [RE-POST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang