Teteh Hafa absen dulu, ya di part ini.
***
"Pak Levant? Anda—"
Sekretaris Levant langsung berdiri kaget begitu menemukan atasannya datang ke kantor dalam keadaan... begitu berbeda. Biasanya pria itu akan terlihat sangat rapi, wangi, dengan pakaian branded yang debu saja tidak berani menempel. Dengan rambut ditata rapi, menampilkan jidatnya yang membuat para wanita suka lupa diri. Mereka menyebutnya kesempurnaan berjalan. Namun kali ini, Levant tampak basah, pucat, dan berantakan.
Hanya sorot mata dinginnya yang tidak berubah. Ia tidak berhenti untuk sekedar mendengarkan kekhawatiran bawahannya itu melainkan langsung masuk ke ruang kantornya. Sekarang sudah lewat dari pukul empat, rapat seharusnya sudah dimulai. Namun rasanya tidak mungkin juga ia langsung menghadirinya dalam penampilan tidak layak seperti sekarang.
"Bawakan saya pakaian ganti. Cepat," perintahnya ketika akan memasuki ruangan.
"Baik, Pak."
"Dewan direksi sudah datang semua?" Ia berhenti sejenak di depan pintu, menatap sekretarisnya, yang balik menatapnya dengan keraguan.
"Sudah, sepertinya," ujarnya, wajahnya menunjukkan jelas sekali pertimbangan. Dan ketika berbalik untuk melanjutkan aktivitas, ia membulatkan tekat. "Pak Levant, tadi beberapa kali ada telpon penting dari rumah, saya diminta untuk menyampaikannya segera pada anda."
Secara natural, alis Levant berkerut samar. "Ada apa?"
"Nyonya besar... penyakitnya kambuh. Sekarang sedang dibawa ke Rumah Sakit."
Gerakan Levant yang hampir memutar kenop pintu terhenti. Rasanya sedetik dari dunianya berhenti. Ibunya sakit lagi?
"Ayah mana?"
"Sedang menghadiri rapat direksi."
"What?"
***
Pintu menjeblak terbuka, dan seketika, seluruh pasang mata di ruangan itu tertuju ke arah yang sama. Levant muncul di ambang pintu, masih sama berantakan dengan sebelumnya. Yang berbeda hanya matanya. Seolah ada sesuatu yang terbakar di mata itu. Ia tidak berbasa-basi. Tatapannya hanya terpusat pada satu orang, yaitu seorang pria paruh baya yang duduk di ujung meja, di kursi yang menandainya sebagai pemimpin rapat.
Arun Aditya Devara, pria lima puluh tahun dengan wajah kaku itu, bangkit berdiri. Mulutnya menggeramkan kemarahan yang tidak bisa ia tahan-tahan.
"Park Levant! Apa yang anda sedang lakukan dengan penampilan seperti ini?! Kenapa─"
"Ayah," sela Levant tiba-tiba, memanggil pria itu Ayah alih-alih predikat formal. Tatapannya dingin menusuk. "Apa Ayah sudah tahu Ibu masuk rumah sakit? Maag-nya pasti kambuh lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomanceTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...