Rasanya.... suara ambulan yang keras masih terngiang-ngiang di telinga. Hafa merapatkan jaket besar yang tersampir di pundaknya, merasa kedinginan.
Kejadian itu berlangsung dengan cepat, dan berlalu dengan cepat pula, kecelakaan itu, tanpa Hafa bisa mengambil waktu untuk mencerna. Tahu-tahu sirine ambulan telah meraung-raung, orang-orang berkumpul, dan Hafa ditarik paksa.
Ia ingat melihat Daru dengan cepat melompat pada sosok yang baru dikeluarkan dari dalam mobil itu, dengan cekatan memeriksa tanda-tanda vitalnya, memberikan pertolongan pertama. Ia ingat petugas berseragam datang, meletakkannya di atas tandu mereka, lalu Daru melompat bersamanya ke dalam ambulan.
Usahanya untuk mengikuti pria itu terhalang pintu yang tertutup, petugas medis dan kepanikan di dalam dirinya sendiri. Ia bahkan tidak tahu bagaimana ia bisa tiba di rumah sakit ini, menumpangi mobil siapa, ia tidak ingat sama sekali.
"Bukan salahmu."
Suara itu familiar. Hafa yang berjongkok dengan tubuh menyandar pada dinding mendongak, menemukan Daru yang ikut berjongkok di hadapannya.
"Hafa? Tenangkan diri kamu," kedua tangannya menangkup kedua tangan Hafa yang gemetar, dingin. Matanya yang sayu terlihat begitu khawatir. "Dengar, ini bukan salah kamu. Ini murni kecelakaan. Tolong, jangan salahkan diri kamu, oke?"
Kedua mata milik Daru menguncinya, berusaha memahamkannya bahwa ... tidak apa-apa, dia tidak salah. Dan hal itu membuat tubuh Hafa bergetar kemudian. Semua rasa panik, sesal, ketakutannya seolah ingin meluap. Ia menyimpan wajahnya ke antara dua lutut, lalu ketika ia mendongak kembali, airmata kembali mengalir di pipinya.
Bibirnya gemetar. "Aku seharusnya...." Air matanya deras di pipi, menyedaknya. "Aku seharusnya nggak berdiri di sana. Aku... Aku cuma..."
Ucapannya terhenti di pundak Daru. Pria itu memeluknya, erat. Dan Hafa tidak ragu untuk menumpahkan airmatanya di sana, meskipun harus membasahi jubah dokter yang Daru kenakan. Ketika reda, Daru membimbingnya bangkit, mendudukkannya di bangku tunggu pasien.
"Dengar Hafa. Jangan cemas," bisiknya. Tangannya terulur untuk menyingkirkan helai rambut yang berada di wajah Hafa. "Kami akan berusaha yang terbaik untuk menyelamatkan dia. Dan semuanya berada di tangan Tuhan, ingat? Kamu jangan takut. Doakan yang terbaik untuknya."
Hafa mengangguk. Kedua tangannya yang terkepal erat terbuka, menampakkan arloji hitam itu masih di sana, tidak pernah ia tinggalkan.
Sementara di belakang mereka, pintu ruang operasi terbuka. Dokter yang Daru tunggu muncul di ujung koridor, bersama para asisten bedah. Daru sekali lagi membisikkan kalimat menenangkan pada Hafa. Lalu meninggalkannya bersama arloji yang tidak pernah Hafa lepaskan itu.
***
Seperti tidak pernah habis, Daru memperhatikannya. Gadis itu tengah tertidur dengan kepala terkulai ke samping dalam posisi duduk di depan ruang operasi. Masih dalam posisi yang sama seperti beberapa jam lalu ketika Daru meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomanceTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...