Warning: Mulai part ini bakal makin mellow, deh.
***
Gadis itu berguling ke sisi. Pilihan yang salah, karena cahaya matahari yang menembus jendela segera menusuk kelopak matanya. Gangguan kedua setelah suara Ayres yang terus merengek sambil mengguncang-guncang tubuhnya. Hafa terpaksa membuka mata dan mengerjap-ngerjapkannya demi menyesuaikan diri.
Hal pertama yang ia lihat adalah suasana kamarnya yang seperti biasa. Lalu Ayres, yang terus mengguncang ubuhnya dengan tidak sabaran.
"Ada apa, Yes? Teteh masih ngantuk," ujarnya, mengucek rasa kantuk itu dari mata.
"Teh. Aa, Teh!"
"Aa apa? Aa siapa?" Ayres benar-benar... pagi-pagi sudah berisik.
"Aa Levant nggak ada."
Itu menghentikan gerakan Hafa. Ia baru akan berdiri ketika Ayres menyebutkannya. Dan sekarang, semua yang bisa ia lakukan adalah menatap anak itu lurus-lurus. "Nggak ada gimana?"
"Tadi Ayes kan mau main ke rumah Aa Levant. Rumahnya nggak dikunci, Teh. Tapi orangnya nggak ada."
Hafa segera bangkit berdiri. Ia baru ingat bahwa semalam ia bersama Levant, ia bahkan masih dapat merasakan punggung pria itu. Ia baru bangun tidur, baru saja mengumpulkan roh dan kesadarannya, tidak punya ide apa-apa soal kemana pria itu pagi-pagi sekali. Mungkin dia beli bubur, mungkin beli sarapan, mungkin olahraga pagi... otaknya terus memberi tahu, terus berusaha memberi pikiran positif.
Tetapi ... entah kenapa, hatinya mengatakan sebaliknya. Hatinya cemas, dan ia tidak tahu kenapa. Sampai matanya menumbuk sesuatu di atas meja. Sepasang sepatu yang ia kenali dengan selop sebelah kanan yang patah. Sepatu yang diberikan Levant untuknya, dan itu baru terjadi kemarin. Ada sebuah walkman di sisinya.
Ia mengambilnya dengan cepat, menemukan hanya ada sebuah file berisi rekaman suara di dalam sana. Hampir seperti tanpa berpikir, gadis itu segera bangkit untuk berlari menuju pintu. Ia memotong jalan agar secepatnya dapat tiba di rumah sewaan Levant. Ayres benar, pintunya renggang tidak terkunci, jadi tanpa bersusah payah ia membukanya. Sekali lagi, Ayres tidak berbohong. Ruangan itu sepi tanpa tanda-tanda kehidupan di dalamnya, lebih lagi, semua perabotnya begitu rapi... dan kosong. Meja kursi terasa aneh tanpa adanya camilan berserakan atau kemeja Levant yang biasanya tersangkut di mana saja. Hafa beranjak ke dapur, memaksakan dirinya tidak jatuh terduduk mendapati dapur yang kosong melompong. Ia membuka kulkas dan tidak menemukan apapun lagi di dalamnya, tidak ada bekas piring atau apa di meja makan dan wastafel.
Ini tidak benar. Ini terasa tidak benar.
Terakhir, ia berlari ke kamar Levant, tanpa susah payah mengetuk, ia membukanya. Dan semua yang ia dapatkan adalah penegasan tentang ide-ide yang mulai bermunculan, namun berusaha ia tolak. Lemari Levant kosong. Seketika, ide itu terasa lebih nyata dari seharusnya. Terlalu nyata hingga seakan-akan ia sedang bermimpi buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomansaTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...