Hidupnya akan berakhir segera. Dan pengetahuan itu cukup untuk membuat kedua tangan Levant mengengam setir dengan erat dan kakinya menekan pedal gas dalam. Kematian tidak pernah menakutinya, terutama sekarang.
Rasanya seperti duduk di deretan bangku tunggu di rumah sakit ditemani majalah lama yang membosankan, menunggu giliran untuk dipanggil dan menghadapi beragam pemeriksaan, atau vonis mengerikan. Lalu, manakah yang lebih mudah? Menunggu di luar lama, gelisah? Atau dipanggil dengan cepat ... dan semuanya berakhir dengan cepat juga? Levant sudah menunggu sejak lama. Dan sekarang ... gilirannya.
Ia tidak sempat memikirkannya lebih jauh, karena tiba-tiba saja, segala konsentrasinya tercurah demi menghentikan mobil dengan segera hingga decit ban terdengar menggores aspal jalanan. Sebuah gerobak rujak terhenti kurang dari satu meter di depannya. Wajah pedagang rujak itu terlihat syok, semua orang di posisinya mungkin akan mengalami hal yang sama, ketika mereka hampir saja tertabrak.
Tanpa menunggu detik berikutnya, Levant segera turun dari mobilnya.
"Kalau bawa mobil hati-hati woy!" Ia meneriaki Levant, marah. Menarik perhatian warga sekitar, yang hanya menoleh sekilas kemudian kembali ke tujuan masing-masing. "Terserah kalau kamu tidak sayang nyawa kamu sendiri, tapi perhatikan nyawa orang lain juga, dong! Belegug sia!"
Sedetik, Levant termangu. Kemudian mengedip. Kalimat itu begitu menohok dirinya hingga kalimat sanggahan yang biasanya selalu tersedia di otaknya menguap seketika. Membuat pria di depannya menatap Levant bingung.
"Kamu kesurupan?!"
Levant masih menatapnya, intens. "Misal ... Bapak pernah ketabrak, kepala terbentur lalu Bapak diberitahu kalau ada yang salah sama otak Bapak dan Bapak akan mati paling lama dua bulan lagi. Apa... yang akan Bapak lakukan?"
Jika sebelumnya orang itu hanya curiga dengan keadaan Levant, maka pertanyaan barusan memberinya sebuah keyakinan.
"Astaga! Kamu, teh, ngomong apa? Beneran kemasukan ini, mah. Beneran kebentur!"
"Jika Bapak hanya punya waktu dua bulan lagi untuk hidup, apa yang akan Bapak lakukan?"
"Situ gila, ya?!" Pria itu membulatkan mata, namun tidak bisa menahan diri untuk tidak menjawab pertanyaan barusan. "Ya bertaubat, terus menikmati hidup! Percuma saya kerja capek-capek kalau sebentar lagi mati juga. Saya jual rumah, foya-foya, cari istri baru, toh uang nggak dibawa mati. Aduh, jadi mengkhayal. Kamu sih─"
Ucapan pria itu segera terpotong oleh segepok tebal uang di atas telapak tangannya. Levant tersenyum kecut. Ia menggumamkan 'terimakasih' saat memberikan semua uang yang ada di dompetnya pada pria itu, sebelum berbalik kembali ke mobilnya.
***
Selain suara televisi yang dinyalakan dengan volume tidak terlalu besar, ruangan itu sepi. Di jam sekarang, para pelayan biasanya berkumpul di dapur, atau ruangan mereka sendiri, beristirahat. Ayah tentu saja masih di kantor. Dan Ibu ... Ibu sedang duduk di sofa, menonton televisi sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Rain [RE-POST]
RomanceTentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan. ...