1st Chapter - [the mission]

8K 841 245
                                    

Arjuna Shanders

Rasa lelah akibat misi yang hampir gagal kemarin telah terbayarkan. Mumpung pagi masih berada dalam tapal bumi, aku sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu ketika tidur menjadi hal yang sangat nyaman lima jam sebelumnya. Seperti apa yang sudah dijelaskan Triana--asistenku yang merangkap sebagai penadah informasi--aku berada di kota kelahiranku, Kota Medan, dan aku ada untuk membuat inovasi baru pada misi yang sudah terbiasa kujalankan.

Jeans hitam, kaos putih dan kemeja kotak-kotak berlengan panjang kukenakan dengan leluasa. Kancing kemeja kubiarkan terbuka, menggelayut mengikuti irama setiap kali bergerak. Aku membuka tas Nike dan mendapati dua buah amplop coklat yang kemarin sudah dipersiapkan oleh Triana untuk misi kali ini. Kubuka amplop coklat yang pertama. Seperti biasa, ada E-KTP Palsu, SIM A, Kartu Tanda Mahasiswa, dan dokumen-dokumen pendukung identitasku lainnya.

Hanafi Purnama, ujarku sambil tersenyum kecil saat membaca Kartu Tanda Mahasiswa. Di situ tertulis Hanafi Purnama sebagai mahasiswa magister ilmu kesehatan masyarakat. Well, it's not bad. Ada juga kartu tanda anggota aktivis kemanusiaan terselip. Aku melengkungkan bibir ke bawah, menyamar sebagai seorang aktivis bukan sesuatu yang buruk.

Kuambil amplop kedua yang kuyakini isinya tentang narasumber. Aku mengambil beberapa lembar kertas dari dalam situ, tetapi yang tertulis justru:

"VC aku kalau mau tahu lebih detail!"

"Dasar Bu Pecel, sialan!!" celetukku kesal.

Kukumpulkan data-data identitas asliku menjadi satu ikatan karet, kecuali tiga kartu ATM yang sudah kumodifikasi dengan lapisan kartu member minimarket, orang lain yang mendapatinya tidak akan pernah tahu kalau itu adalah kartu berisi tabungan, bahkan jika tercecer di jalanan sekalipun. Kumasukan ketiga ATM tadi kedalam dompet, kusejajarkan rapi dengan ID Card palsu.

Melirik jam tangan Alexander Christine yang sudah mengarah di jam tujuh. Dengan sigap aku mengemasi barang-barang. Kali ini aku hanya membawa satu tas sport Nike dan ransel biasa. Kususun semua peralatan komunikasi rahasiaku, kamera dan beberapa senjata kecil.

Tak lupa, aku memastikan keberadaan pistol kecil yang hampir berkarat itu kuselipkan di antara gulungan pakaian. Terus terang aku baru menggunakanya tiga kali sepanjang karir. Aku bahkan tidak tahu apakah senjata itu masih berfungsi atau tidak. Mungkin akan sedikit klise jika terus terang kukatakan bahwa pekerjaanku tidak pernah melibatkan kontak senjata secara langsung-mungkin belum. Kami diajarkan ilmu bela diri dan menggunakan senjata hanya untuk menghindar dari serangan lawan. Selebihnya kami bermain dengan diam-diam.

Setelah memastikan semua perlengkapanku tak ada yang tertinggal, aku dengan cepat menuju recepsionist hotel untuk proses check out. Seorang resepsionis wanita memberiku salam yang sangat ramah, ia menyodorkan sebuah amplop cokelat kecil padaku.

"Ada titipan buat bapak, silakan diterima," katanya menyuguhkan.

Aku menerima amplop itu sambil mengucapkan terima kasih. Aku selalu tahu, lagi-lagi Triana sudah mempersiapkanya dengan sangat baik sampai dengan urusan mobil pun dia sudah paham tanpa harus kuminta.

Setelah mengisi perutku dengan menu sarapan di hotel, aku pun berjalan cepat menuju area parkir bawah gedung. Begitu kubuka STNK mobil yang kukeluarkan dari amplop, jelas saja mataku membola dan wajahku bergairah begitu melihat nomor plat di STNK ternyata cocok dengan mobil yang ada di hadapanku. Crown biru muda 1970.

Dengan cepat kuraih smartphone dan membuat panggilan video dengan Triana. Beberapa detik kemudian ia menjawab dan terlihat wajah lebarnya memenuhi seluruh layar.

"Halo, Arjunaku ...," sapanya sedikit genit.

"Mobil tua? Kamu kasih aku mobil tua?"

"Jangan sok komplain, deh. Aku tahu kamu tuh seneng." Triana memasang wajah kesal.

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang