Almira Freddie
Tidak butuh waktu lebih dua jam ternyata untuk sampai di gedung apartemenku. Kami telah memastikan tidak ada lagi barang yang tertinggal dari dalam taksi yang telah mengantarkan kami sampai ke depan lobi gedung berlantai dua puluh. Itu adalah satu-satunya gedung dengan akses lantai termudah yang bisa kudapatkan di kota ini, sehingga aku tidak perlu bantuan orang lain untuk membuat rodaku meluncur bebas kemana pun kusuka.
Para security di gedung itu memberikan sapa keakraban padaku, begitu juga dengan para petugas kebersihan, staff dan ahh—semua orang yang bekerja dan menempati gedung itu pasti kenal denganku. Sebab aku adalah satu-satunya penghuni gedung yang jarang sekali menempati apartemen pribadi, terlebih dengan sosok diriku yang sangat mudah dikenali.
"Nouvie baru chat, katanya dia sedang belanja di swalayan bersama Rio." ujarku sambil meluncur gesit di atas lantai, hampir sampai ke pintu lift.
"Itu artinya aku masih punya banyak waktu berdua denganmu." Kedua mata Han menyipit di balik kaca mata.
Tangannya sudah terlalu repot membawa barang bawaan yang lagi-lagi membuat ia harus berusaha tampak macho. Mengiringi laju kursi rodaku yang tidak kalah cepat.
Dua koper yang sedari tadi ia tarik dan dorong tidak tampak terlalu berat sebenarnya. Hanya saja karena boneka beruang yang lagi-lagi menempel di punggungnya—Han jadi terlihat seperti seorang pria cute—yang membuat kaum hawa di sekitar apartemen memperhatikannya terpesona. Ia ibarat mobil Lamborghini yellow yang berada diantara jajaran mobil merk biasa di lahan parkir. Shinny.
Aku sadar kalau pria itu sedang menjadi sorotan, namun aku tidak mau merasa tenggelam dengan sosok pria pengalih perhatian yang sedari tadi mesem-mesem tak jelas setiap kali para wanita melirik ke arahnya dan berbisik. Ahh... lagi-lagi Aku harus memasang kuping tebal untuk menghindari tensi emosinku menaik sewaktu-waktu saat mendengar cibiran yang menyakitkan.
Begitu sampai di depan pintu apartemen, Aku mengeluarkan kunci berbandul pistol dari dalam sling bag. Jelas saja, jangan tanya kenapa aku punya macam-macam alat di dalam sling bag ini. Bagaimanapun wadah ini seperti kantung Doraemon yang selalu kugunakan untuk menyimpan barang-barang penting. Jika bag itu menghilang, maka menghilang jugalah nyawaku.
Han mengetuk-ngetuk kakinya ke lantai saat menungguku berusaha membuka pintu. Ia sudah tak sabar ingin melihat isi dalam rumah pribadiku katanya. Ditambah dengan rasa haus yang membuat ia kesulitan bicara, bahkan menelan salivanya sendiri saja berat. Priaku itu butuh minuman dingin segera.
"Selamat datang," seruku saat kami masuk ke dalam ruangan chic dengan dinding bercorak daun.
Kedua mata Han santron mengelilingi setiap sudut ruangan. Ada patung Aristoteles yang terbuat dari metal di sudut dekat pintu yang tadi kami masuki. Furniture rumah ini jelas lebih unik dan modern dibanding isi rumahku yang ada di Medan.
Pria itu kembali berdecak kagum saat melihat sekeliling dinding ruangan itu di penuhi dengan wallpaper bernuansa natural. Green, pinus, leave, ranting pohon dan—Han mungkin sedang berpikir, menduga bahwa corak wallpaper itu sengaja di pasangkan untuk membantuku melepas rindu pada arena downhill yang natural. Atau mungkin terapi untuk melepas kepenatanku sendiri.
"Wow! kamu masih merindukan dia?" tanya Han padaku yang melaju menuju ruang tengah. Koper dan ransel Han tinggalkan di lantai ruang tamu, dekat dengan sofa panjang berwarna putih. Ia membuka kaca mata hitamnya lalu menggantungkannya di leher kaos.
"Dia?" Aku menaikkan alis bertanya, meskipun sebenarnya aku tahu siapa yang dimaksud pria itu dengan—dia.
"Iya, The Lady Hammer. Tampaknya kamu masih merindukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)
ActionACTION, THRILLER, ROMANCE Arjuna Shander, seorang agen rahasia yang ditugaskan khusus untuk mencari barang bukti kasus pembunuhan seorang Pejabat Menteri bidang Kemaritiman 6 tahun lalu yg mungkin disimpan oleh mantan atlet downhill bike bernama Alm...