27th Chapter - [I will let you go]

1.5K 311 129
                                    

Almira Freddie

Aku mendorong tubuhnya dengan kedua tangan hingga membuatnya terhuyung limpung. Wajah keterkejutan itu terlihat seperti manusia yang sekarat menghadapi malaikat maut.

"Almira, k—kamu, bagaimana bisa?" Suaranya terbata-bata. Wajahnya menegang dan pandangannya tidak pergi ke mana pun selain padaku.

Aku meraih kursi rodaku lebih dekat untuk berpindah. Membenahi posisi duduk beserta kedua kakiku dengan wajah murung dan basah, berat menatap mata sendu miliknya.

"Sepertinya kamu harus belajar lagi cara menyimpan mainanmu supaya ngga diintip orang lain. Lagipula, bukannya kamu bilang, aku bakal lebih tenang dan terbebas dari masalah jika aku menyerahkan bukti itu pada pihak yang berwenang?" Ia mengangkat dagu untuk berani melihat air wajahnya yang masih berdiri terpaku. "Kamu pihak berwenang itu 'kan? Itu yang selama ini mau? Mendapatkan bukti dan menyelesaikan misimu? Dan selamat, kamu sudah berhasil mencapai finish."

Ia menggeleng seakan tak setuju dengan pernyataanku. "S - sayang, jangan berpikir kalau aku telah menipumu dengan perasaanku. Kamu sudah melibatkanku dalam hidupmu, Almira. Jangan berpikir bahwa aku ngga benar-benar mencintai kamu." Kakinya maju satu langkah ke depanku.

"Jangan bergerak! Jangan coba mendekatiku!" Teriakan halaunya spontan membuat tubuhnya mematung sementara aku menarik sisi rodaku mundur.

Bibirku gemetar, menahan sakit, kegilaan yang mengepung. Gumpalan awan yang sedari tadi menggelayut sejak membawaku ke rumah ini telah pecah. Menumpahkan literan air hujan dan mengguyur tubuhku. Tidak basah, tapi rasa dingin yang didapatkan dari percikan besar membuatku tidak bisa menahan rasa sakit yang bergejolak di dada.

Aku berusaha menahan ringisan tangis yang terus keluar dari tenggorokan. Menunduk pada luka, memandangi kakiku sendiri dan bagaimana bisa aku menangis di hadapannya? Seharusnya ini tidak pernah terjadi.

"Aku bilang pergi sekarang juga. Kumohon—" pintaku.

Dengan pandangan layu, aku menatap mata pria yang sangat kucintai itu dengan mata berpendar.

Ia membenamkan bibir, tidak menyetujui permintaanku dan entah mengapa itu semakin membuat hatiku perih. "Aku ngga akan pernah ninggalin kamu. Kamu tahu aku sangat mencintaimu. Jangan memaksaku untuk pergi. Dengar, aku hanya akan menyerahkan kunci itu pada pimpinanku dan kita bisa kembali, bukan?"

"Engga ada yang bisa kupercayai dari kamu setelah apa yang kamu lakukan ke aku, ARJUNA! Kamu udah membodohi aku selama ini!"

"Aku ngga pernah punya maksud membodohi kamu, Almira. Aku—ingin menolongmu, membebaskan kamu dari tekanan yang selama ini menerormu. Aku menyesal karena kamu lebih dulu tahu sebelum aku jujur sama kamu." Lagi-lagi, ia kembali mencoba melangkahkan kaki lebih maju. "Maafin aku, kamu memang berhak murka. Tapi kumohon, jangan minta aku pergi dari kehidupan kamu. Itu menyakitiku, Sayang—"

Aku menggigit bibir bawahku sendiri kuat-kuat hingga setitik darah timbul. Lima puluh senti lagi, aku tahu ia masih berusaha mendekat. Satu tangannya hendak meraih pundakku dan seketika itu juga tanganku jauh lebih cepat menarik laci nakas kelabu di sisi kanan dan mengambil sebuah pistol dari dalam situ.

"Cam ON!" ucapnya pelan. Aku mendengarnya dan aku tak mau tahu apa yang diucapkannya itu mungkin sebuah upaya untuk mengaktifkan alat rahasianya.

Ini terlihat seperti kisah fiksi. Jika pria itu menyimpan alat rahasia, maka aku pun tak akan tanggung-tanggung menunjukkan senjataku padanya. Biar semua orang tahu—mereka, para intel yang bekerja tak menggunakan hati—bahwa wanita lumpuh inilah orang yang selama ini memegang kunci misteri pembunuhan sang pejabat, yang barangkali berbuntut pada kasus lain, atau mungkin menyimpan rahasia lain yang berkaitan dengan keamanan Negara. Aku tak peduli. Hal seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya padaku. Tiga orang intel pernah berusaha membobol pembungkamanku dan sayangnya mereka berakhir gagal. Seharusnya aku berinisiatif memperlakukan intel yang satu ini, tapi rentetan persitiwa yang berkaitan dengan Nouvie justru membuatku terjebak dan percaya bahwa ia hanyalah pria biasa yang kebetulan dikirimkan Tuhan untuk membantuku mengatasi konflik.

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang