9th Chapter - Stalking

2.4K 426 152
                                    

Almira Freddie

"Berapa kilometer lagi, Ra?"

Aku belum mengembalikan konsentrasiku ketika Han bertanya.

"Almira?" Han mencoba menyadarkanku, di sela regulasi pikiran yang sedang melamun memikirkan tentang peristiwa enam tahun yang lalu. "Almira!" hentaknya dengan suara meninggi.

"Ya, Han?" jawabku terkesiap.

"Kamu kenapa? Apa ada masalah? Kamu ngga fokus dari tadi."

Mungkin aku berdosa membiarkan Han menyetir sendiri tanpa lawan bicara. Music Player juga tidak kunyalakan. Sementara panasnya terik matahari membuat kami lebih cepat kehausan. Aku berusaha menormalkan kembali pikiranku setelah terganggu dengan bayang-bayang Danggo. Padahal kami sudah sejauh ini, melewati perbatasan Aceh menuju ke Banda.

"Aku ngga apa-apa, sorry."

"Kita sudah tiga jam berkendara dengan kecepatan normal. Coba lihat sekali lagi apa kita sudah semakin dekat dengan mereka?"

Kubuka layar smartphone-ku dengan memasukkan keyword beralfabet rumit. Setidaknya butuh waktu tiga detik hanya untuk mengaktifkannya dalam keadaan standby. Sinyal dari GPS Nouvie terlihat semakin dekat. Ternyata Han berhasil mendekati mereka. Kini antara kami dan para kelompotan itu hanya berjarak tiga kilometer.

"Teruslah melaju dengan kecepatan seperti ini Han. Jarak kita hanya tiga kilometer. Kamu berhasil."

Han tertawa. Kegirangannya kembali seketika. Wajah penuh semangatnya membuatku merasa terhibur. Aku menyalakan musik dan memilih lagu Rod Steward berjudul Have you ever seen the rain. Lagi-lagi, aku dan Han bernyanyi dengan nada suara yang menyatu.

Sudah kuduga kalau lelaki dengan type seperti Han pasti sudah hafal dengan lirik lagu-lagu seperti ini. Dia pasti sering menyanyikannya meski hanya di kamar mandi. Mungkin juga dia sering menyanyikannya sambil bermain gitar bersama teman-temannya, atau ketika menyendiri di kamar. Atau mungkin saja dia sering pergi ke tempat karoke dan bernyanyi ditemani perempuan-perempuan penghibur. Ah, yang terakhir terlalu vulgar kurasa. Aku yakin dia bukan type lelaki buaya seperti itu. Apalagi dengan profesinya sebagai aktivis kemanusiaan.

Kami telah berada di kawasan pemukiman warga. Tidak terlalu rapat rumah-rumah di sini tapi masih banyak ditemui ruko-ruko tempat masyarakat menjalankan usaha mereka. Aku minta Han memperlambat laju mobil karena sinyal GPS berhenti di suatu tempat. Aku memberi pengarahan pada Han sambil sepasang mataku mencari mobil jeep mereka.

"Itu mereka. Berhenti di sini, Han. Kita jangan sampai terlalu dekat sama mereka."

Han menepikan mobil di sisi kiri. "Tempat apa itu?" tanyanya sama penasaran denganku.

"Aku juga ngga tahu. Mungkin kedai kopi," terkaku yang menganggap itu adalah kedai kopi meski tidak tampak seperti itu. Halaman parkirannya cukup luas, dengan beberapa mobil terparkir di halaman depan.

"Kita turun sekarang? Atau kamu ingin aku sendiri yang mengecek ke sana?" Han memberi opsi.

"Aku ikut denganmu."

"Baiklah." Han melepas seat belt dan dengan cepat membuka pintu mobil. Dia mengambil kursi di jok belakang lalu menaruhnya di depan mobil. Mungkin karena jarak antara pintu mobil dengan trotoar terlalu sempit dan tidak memungkinkan untuk aku mentransfer sendiri. "Ayo, aku akan membopongmu." Kurangkulkan tanganku ke lehernya tetapi urung.

"Tunggu, Han. Aku lupa sesuatu."

"Apa?"

Kubuka laci dasbor di depanku untuk mengambil sebuah pistol dari situ.

"Kamu gila? Sejak kapan kamu menaruh pistol itu di dasbor mobilku?" Aku tahu reaksi Han akan panik. Terang saja, menaruh senjata api di mobil adalah tindak kriminal.

Aku pun tertawa kecil. "Hanya untuk berjaga-jaga. Kuharap aku ngga sampai menggunakannya."

"Aku bener-bener ngga habis pikir sama kamu," eluhnya diakhiri dengan dengkusan napas kesal.

"Kita sedang menyusup, Han. Melawan komplotan mafia. Apa kamu lebih memilih mati ditembak mereka dari pada membunuh mereka?"

Han menggelengkan kepalanya. "Terserah kamu ajalah."

Tanpa protes lagi, Han membopongku dengan hati-hati lalu mendaratkanku di atas kursi. Aku menyelipkan pistol di bawah paha sebelah kanan. Setelah memastikan mobil terkunci, Han membantuku mendorong kursi sampai ke pelataran parkir. Kami bersembunyi di balik mobil-mobil dan mencari mobil jeep yang membawa Nouvie. Itu kedai kopi yang cukup luas dan sangat tertutup. Dengan dinding berwarna putih dan sepi.

"Itu mobil jeep nya. Menurutmu apa kita harus ke sana?" Han menunjuk mobil jeep yang berjarak dua belas meter disana.

"Cobalah ke sana dan cek apakah mafia itu ada di dalam kedai?"

"Aku akan masuk kedalam kedai itu." Han memakai masker penutup mulut dan topi. "Tetaplah di sini, jangan ke mana-mana. Kalau mereka tahu aku membawamu, mereka bisa membunuh kita."

Benar juga. Aku tidak bisa menyamar atau menutupi kursi rodaku ini dengan cara apa pun, bukan?

"Bawa aku ke samping gedung itu. Di sini terlalu mencolok."

Dengan penuh kewaspadaan kami berjalan ke sebuah gedung kecil di sebelah kedai, mungkin itu semacam gudang. Han mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memastikan keadaan baik-baik saja di sekitarku.

"Han, berjanjilah untuk membawa Nouvie kembali."

"I'll do the best, I'm promise."

Aku mengangguk sedangkan Han bersikap biasa saja sebagaimana pengunjung biasa yang masuk ke dalam kedai. Aku pun hanya bisa melihat apa yang dilakukan Han dari sini dengan penuh kecemasan.

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang