Nouvie Freddie
Aku baru berusia dua belas tahun ketika melihat ibuku menangis. Dia berdiri bersandar pada kusen pintu saat melihat aku dan Almira sedang bermain di bawah guyuran hujan—di halaman depan rumah. Ibu menghapus air matanya yang secara terang-terangan menampakkan wajah kesedihannya sambil berusaha tersenyum pada kami. Mungkin ibu mengira aku ataupun Almira tidak akan memergokinya karena tirai hujan membuat sosoknya serupa dengan bayangan berpendar. Hanya saja aku tidak memedulikannya karena terlalu asyik bermain.
Bersamaku, Almira berguling-guling di permukaan rumput yang basah. Sesekali membuat percikan pada genangan air menggunakan kedua kakinya. Bertingkah seperti prajurit yang melakukan gerakan baris berbaris. Aku bertugas sebagai pencari pelepah pinang di kebun belakang rumah dan mengubahnya menjadi ski tradisional. Kemudian aku akan menyuruh Almira duduk bersila di atas pelepah tersebut, berpegangan erat pada dahan agar ia tidak terjatuh. "Tarik yang kencang." Pintanya.
Setelah kupastikan ia duduk dengan baik, aku menarik pelepah pinang itu sekuat tenaga. Membawa tawa bahagia adikku melintasi genangan-genangan air hingga lumpur memenuhi seluruh tubuh dan wajahnya. Ia tampak sangat senang sekali. Dan tidak akan pernah berhenti memintaku melakukannya sampai hujan benar-benar berhenti.
"Ibu! Almira ngga mau berhenti, aku capek gini terus ... dia keenakan," keluhku dengan suara keras di depan ibu yang masih berdiri memerhatikan kami.
Almira tertawa, menjungkit-jungkitkan pelepah guna memaksaku untuk menariknya lagi. "Ayo, Nouvie! Kamu lemah banget! Nanti hujannya keburu berhenti, aku belum puas— "
"Aku capek! Rasain ini!" Serta merta menghentak kuat pelepah menggunakan kedua tanganku, Almira terjungkir ke belakang tanpa pertahanan. Kepalanya mendarat di kubangan air kotor yang berada tepat di belakangnya. Bukannya ia marah atau menangis, Almira malah tertawa kesenangan dan membuat gerakan berenang sesuka hatinya.
"Jorok, Ra! Kamu ini! Nanti kalau telingamu kemasukan cacing baru tau rasa!" Aku mengomel, tapi kulihat ibu malah tersenyum ringkih. Tampaknya sama sekali tidak berniat memarahi tingkah anak bungsunya yang tidak mencerminkan anak perempuan.
Aku menarik paksa tangan Almira agar ia menghentikan prilaku kotornya sambil mengomel dan membentak, meskipun anak perempuan itu tidak memedulikanku. Ia masih saja bersikeras berenang dan melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur. Aku berteriak agar ibu membantu, tapi yang terjadi, ibu malah tertawa semakin kencang dan tidak berkata apa-apa selain— "Bermainlah sampai puas, Sayang."
Lima hari setelah itu, aku baru menyadari kalau tawa itu adalah tawa terakhir yang disuarakan ibuku. Tante Mery menjemputku dan Almira di sekolah pada jam sepuluh, hari di mana ibu meninggal karena tidak lagi kuat menahan penyakit kanker rahimnya yang ganas. Tangisanku langsung menghambur di samping jasad ibuku yang sudah terbujur di atas tilam tidurnya. Seluruh tubuhnya tertutupi kain panjang sampai dua lapis, sedangkan wajahnya tertutup selendang putih yang membuat parasnya terlihat samar bila di lihat dari luar.
Beberapa pelayat masuk ke dalam rumah bagai badai yang menerjang. Masih berseragam sekolah, sedikit pun aku tidak ingin melepaskan pelukanku pada ibu yang tidak lagi bergerak. Air mata tak mungkin terbendung dengan cara apa pun. Aku menggugah tubuhnya untuk membangunkannya, berharap ia kembali membuka matanya dan bernyawa untuk membalas pelukan kedua anak perempuannya yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Almira ada di sebelahku, ia juga menangis, tapi tidak sekencang tangisanku yang belum bisa menerima kepergian ibu yang terlalu cepat.
Dari belakang punggung, ayah memeluk kami dengan tangisan yang masih bisa tertahan oleh air mukanya. Aku bertanya, mengapa ibu tidak menunggu kami pulang sekolah dulu jika ingin pergi menghadap Tuhan. Seharusnya ibu bisa memberikan pesan walau hanya satu kata. Namun ayah hanya menggeleng pelan, sama tidak menyangkanya dengan kami yang belum bisa menerima kepergian ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)
ActionACTION, THRILLER, ROMANCE Arjuna Shander, seorang agen rahasia yang ditugaskan khusus untuk mencari barang bukti kasus pembunuhan seorang Pejabat Menteri bidang Kemaritiman 6 tahun lalu yg mungkin disimpan oleh mantan atlet downhill bike bernama Alm...