Arjuna Shanders
Nouvie menghilang di kejauhan. Sementara aku hanya bisa memandanginya dingin tanpa memberinya keterangan apa pun. Aku berpikir bahwa dia tidak akan meminta penjelasan. Itu pertanda bahwa ia telah menyerahkan Almira sepenuhnya padaku. Apa pun yang akan terjadi setelah ini, adalah tanggung jawabku. Nouvie seolah tahu bahwa kami sedang berada dalam satu lingkaran permainan yang tidak bisa diprediksi siapa yang akan menang. Sang penyimpan rahasia ulung versus sang pemain wanita ulung. Aku dan Almira berada di arena itu sekarang.
Apa pun yang terjadi dalam siklus permainan ini, aku harus bisa menyampaikan padanya bahwa aku sungguh-sungguh mencintainya. Mungkin aku kejam, memperlakukan Almira seperti putri yang menjanjikan akhir bahagia pada episode akhir. Akan tetapi, inilah diriku, yang terjebak dalam permainanku sendiri. Jikalau aku kalah nantinya, aku tidak akan menyalahkan siapa pun selain diriku sendiri.
Aku baru saja kembali dari bengkel Yodi, teman akrabku semasa tinggal di sini. Kulihat dia melakukan tugasnya dengan sangat baik. Kalau soal meng-custom atau memperbaiki apa pun yang rusak dia memang ahlinya. Almira pasti sangat senang setelah melihat kursi rodanya bisa digunakan kembali meski tidak tampak lebih bagus dari sebelumnya.
Aku memasukkan kursi itu ke dalam mobil lalu membuka pintu kemudi bersiap untuk masuk. Kembali pulang setelah selesai dengan urusan upah atas jasa Yodi yang sangat membantu.
Beberapa detik setelah berhasil duduk di balik kemudi dan melajukan kendaraan, ponselku bergetar. Kulihat nama Triana sudah ada terpampang di layar. Aku pun menjawabnya dengan segera.
"Hallo! Triana."
"Kamu ngga menghubungiku satu harian ini. Apa yang terjadi?" ia langsung bertanya padaku tanpa basa basi. Kedengaran kesal dari nada suaranya.
"Maaf, Sweetheart. Aku terlalu sibuk merawat Almira, kamu tahu 'kan? Dia pingsan kemarin malam dan kesehatannya menurun. Aku jadi lupa menghubungimu."
"Kedengerannya kamu senang banget? Jangan menyembunyikan sesuatu dariku, Juna! Kamu pikir aku ngga tau apa yang terjadi dengan kalian berdua?"
Pasti Bunda yang sudah memberi tahunya. Ah ... Bundaku itu senangnya menggossip. "Apa yang Bunda ceritakan ke kamu?"
"Banyak! Tapi salah satu yang paling kuingat dari ceritanya, beliau senang kamu sudah punya perempuan pilihan."
Bibirku melebar senang. "Benarkah?! Sudah kuduga, Bunda pasti merestuiku."
"Juna apa kamu yakin dengan keputusanmu ini? Membawa Almira dalam kehidupanmu adalah rIsiko terbesar. Kamu sadar siapa dirimu? Ancaman bisa datang dari mana saja."
"Aku sudah memikirkannya, Triana. Justru karena aku tahu Almira itu wanita yang kuat dan cerdas, makanya aku yakin dengan keputusanku. Aku tinggal mencari cara untuk mengakui siapa diriku sebenarnya. Aku ngga akan main-main kali ini."
"Kamu sedang bermain api, Juna. Aku ngga ikut campur soal perasaanmu." Triana menggerutu di kejauhan sana."Walau bagaimanapun, Almira itu perempuan yang perasaanya bisa saja rapuh. Jangan sampai membuatnya depresi lagi karena ulahmu."
"Depresi?" Aku terkejut mendengar itu dari Triana. Bagaimana mungkin Almira punya riwayat depresi dan aku tidak mengetahuinya. "Kau ngga kasih tau aku kalau dia punya riwayat depresi."
"Aku juga baru tahu. Setelah kamu mengabariku kalau Almira pingsan, aku langsung mencari-cari data kesehatannya. Almira pernah mengalami depresi akibat mengalami tekanan mental dan juga syaraf yang sedikit terganggu karena kecelakaan. Dari catatan polisi yang kudapatkan, Almira juga pernah mengalami kejang-kejang hebat ketika polisi menginterogasinya dengan banyak pertanyaan." Triana menarik napas dalam-dalam kemudian mengucapkan kalimat yang tidak dapat kumengerti."Pseudoseizure, itu yang tertulis di catatan medisnya."
Aku menginjak pedal rem mendadak. Triana sudah tidak lagi berbicara di sana, tetapi aku malah terdiam dengan mulut menganga dan mata nanar. Almira, itukah sebabnya kau gemetaran dan hampir hilang kesadaran sewaktu mendapat pesan dari Danggo? Kau mengalami tekanan lagi.
"Juna! Kamu masih di sana?" Triana membangunkan lamunanku.
"Triana, jelaskan padaku apa itu." Aku bahkan kesuliatan mengeja istilah penyakit itu.
"Semacam epilepsy. Namun ini lebih sulit diprediksi. Pemicu stress adalah salah satu penyebabnya, biasanya penderita akan mengalami kejang-kejang bahkan kehilangan kesadaran."
Aku ingin menangis saja. Aku tidak sanggup mencerna kata-kata Triana dengan baik. Informasi macam apa ini? Lingkaran permainan yang kuciptakan tampaknya tak bisa lagi kukendalikan. Seolah-olah ratusan perisai mendorongku dengan kuat sampai tubuhku terhempas. Itu adalah perisai yang selama ini disembunyikan Almira.
Aku meremas setir mobilku seakan ingin meremukkannya saja. Apa yang kulakukan ini, ternyata malah menjadi ancaman besar untuk Almira. Apakah benar aku sejahat itu?
"Berhati-hatilah, Juna. Mortir yang sudah lama tertimbun di dalam tanah, sewaktu-waktu bisa saja meledak jika diinjak." Aku menggigit bibir bawahku kuat, hanya bisa mendengar kalimat Triana yang menyakitkan."Terakhir kusampaikan. Tadi siang Roger mendatangiku dan memintamu agar segera menyelesaikan misi ini. Dia kecewa padamu karena membiarkan Danggo mati begitu saja. Cari bukti terakhirmu, Juna!"
"Katakan pada Roger untuk memberiku waktu tiga hari lagi. Aku ngga bisa terburu-buru."
"Oke. Jaga dirimu baik-baik."
Sambungan kami terputus.
Seberat itukah cobaanmu selama ini my Lady? Dan kehadiranku dihatimu sepertinya malah akan menambah beban. Bagaimana caraku mengatakan semua ini? Aku bahkan tidak tahu apakah kau bisa sekuat saat kau menyimpan rahasiamu tentang Danggo. Kau tampak sangat kuat dari luar, tapi di dalam dirimu tersimpan rahasia yang tidak dapat kujangkau.
Aku tahu kau tidak selemah itu, bahkan ketika aku melihatmu begitu lepas mengobrol dengan Rani di kamar, aku sama sekali tidak menangkap pseudoseizure ternyata bersarang di dalam jiwamu. Kau selalu tampak ceria dan pintar. Rani saja tidak bisa berhenti mengoceh jika saja aku tidak datang mengganggu obrolan kalian berdua.
Yang kutahu, kau tampak sangat senang ketika aku datang membawakan kursi rodamu yang sudah diperbaiki dan cantik kembali. Wajahmu berbinar-binar, seringaianmu yang dulu tidak dapat kubaca—kini jelas menggambarkan suka cita dari dalam dirimu.
"Han! Terima kasih, Sayang ... kukira dia ngga akan balik lagi." Ia spontan memelukku, seperti anak perempuan yang kegirangan punya sepeda baru begitu ia melihat benda yang merupakan hadiah dari almarhum ayahnya telah kembali.
Hatiku semakin sakit saat kau menyebutku 'Sayang'. Air mataku bahkan hampir keluar saat kau tidak berhenti tersenyum. Itu sebabnya aku menyembunyikan wajahku di atas keningmu. Mencium pucuk kepalamu seraya jariku menghapus titik air mataku. Aku butuh waktu lima detik agar mataku dapat menyesuaikan keadaan. Memaksa ujung bibirku agar tidak meringis sedih. Bagaimanapun aku juga harus berusaha keras agar napasku tampak normal. Kalau tidak, kau pasti akan mencercaku dengan ratusan pertanyaan yang menjadi kelemahanku.
Aku terlalu sibuk berdoa dan menyelamatkanmu sehingga aku tidak memikirkan tantangan lain yang akan muncul. Aku memiliki wanita cantik yang terlihat kuat dari parasnya, tetapi tubuhnya rapuh seperti lilin. Sebagai orang yang mencintaimu, aku seharusnya melindungimu. Namun bagaimana jika aku justru membuatmu terluka?
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)
ActionACTION, THRILLER, ROMANCE Arjuna Shander, seorang agen rahasia yang ditugaskan khusus untuk mencari barang bukti kasus pembunuhan seorang Pejabat Menteri bidang Kemaritiman 6 tahun lalu yg mungkin disimpan oleh mantan atlet downhill bike bernama Alm...