15th Chapter - [Dart Game]

2K 401 231
                                    

Arjuna Shander

Aku sangat panik melihat tubuh Almira gemetaran. Ia memegangi kening, pandangannya kosong. Wajahnya pucat seperti warna melati.

"Almira kenapa, Han?" tanya bang Halim.

"Aku ngga tau... tiba-tiba saja pandangannya kosong dan dia gemetaran."

Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Almira! Kau seperti orang yang kerasukan setan begitu menerima pesan teror barusan.

Aku dan Bang Halim masih berusaha menyadarkannya. Bang Halim segera mengambil segelas air putih hangat lalu merapalkan do'a-do'a yang tidak kuhafal selama 90 detik, kemudian meminumkannya ke bibir Almira.

"Sungguh, aku ngga tau apa-apa." Ia meneguk air putih itu sampai habis dengan tangan gemetar. Napasnya tersengal tak karuan. "Engga tahu... aku ngga tahu. Tolong ...."

"Iya... iya kami ngga akan paksa kamu. Tenanglah, jangan seperti ini, kamu membuatku takut, Ra ...."

Aku memegangi tangannya yang dingin dan mengelus punggungnya supaya bisa lebih tenang. Mengelapkan keringat yang bercucuran di wajahnya menggunakan tisu begitupun air mata yang menetes di pipinya.

Almira, apa yang sebenarnya terjadi padamu. Aku melihatmu seperti orang gila yang kehilangan kesadaran.

Kubelai rambutnya dengan hati-hati, napasnya yang naik turun perlahan-lahan mulai mereda. Bang Halim meminta Almira meneguk air putih itu sekali lagi. Lambat laun pupil matanya kembali terlihat normal. Ia melirikku dan mengerjapkan matanya berkali-kali.

"Hei, kamu udah baikan?" tanyaku cemas. Aku menyentuh pipinya yang dingin. Tiba-tiba kedua tangannya merangkul leherku dengan cepat. Memelukku.

"Han, aku takut," nada suaranya terdengar cemas.

Aku menghela napas lega saat yakin bahwa Almira telah kembali. "Kamu takut apa?"

Almira tidak menjawab. Ia malah memeluk tubuhku semakin kuat. Tangisannya terdengar parau.

"Tidak apa-apa kalau kau belum mau cerita. Aku minta maaf, apa karena pertanyaanku tadi kamu jadi begitu?"

"Jangan tinggalin aku," rengekannya merengkuh telingaku.

"Iya ... Aku akan tetap bersamamu." Mendadak, ia tidak seperti Almira yang kukenal. Dari caranya menangis, aku seakan bisa merasakan begitu banyak beban yang ia pikul selama ini. "Aku ngga mau melihatmu seperti tadi, kamu benar-benar membuatku takut." Ia melepaskan pelukan lalu menghapus air matanya. "Sudah lebih baik?" tanyaku memastikan.

Almira mengangguk pelan.

"Bilang sama aku kalau kamu butuh sesuatu."

"Aku baik-baik aja." Tampaknya memang seperti itu. Sebab kulihat pandangan sudah lebih stabil.

"Baguslah." Dan aku kembali pada kursiku. Memandanginya dengan sedikit rasa iba.

Gadis ini. Tidak salah lagi. Pasti ada hubungannya dengan Danggo. Hanya saja aku butuh waktu lagi untuk membuat semuanya menjadi jelas. Meski sejujurnya aku tidak tega. Ini ibarat memakan daging saudara sendiri, kejam rasanya. Akan tetapi, perasaanku yang berkecamuk, dan rasa ingin terus melindunginya, tidak dapat kukhianati.

"Aku akan menghubungi temanku untuk minta informasi terbaru, aku yakin mereka sudah bergerak. Jangan khawatir, kita pasti bisa membawa Nouvie pulang."

Senyumku―berharap dapat menambah kuat dirinya. Ia masih diam berusaha menenangkan diri, menerima perlakuanku yang masih senang merapikan rambutnya yang berantakan agar wajahnya terlihat lebih terang. Almira seperti anak perempuan mungil yang menggemaskan, dan itu membuatku sulit berada jauh darinya.

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang