32nd Chapter - [Black Mountain]

1.1K 263 5
                                    

Nouvie Freddie

Aku mendengar penuturan Almira bahwa sore ini Levin akan membawanya pada keluarga pria itu untuk makan malam, memperkenalkan dirinya secara resmi sebagai gadis pilihan. Rasa canggung sangat jelas tergambar pada diri Almira sejak Levin belum datang menjemput, ia mencoba beberapa pakaian yang pantas untuk dikenakan. Baiklah, ini hanya makan malam perkenalan. Sebelumnya Almira juga sudah pernah bertemu dengan kedua orang tua Levin – dulu, waktu ia masih bisa berdiri anggun.

"Kamu yakin dengan ini?" Aku bertanya pada Almira di mana tanganku sibuk membantunya memilihkan pakaian yang cocok. "Maksudku, Levin. Bukannya kamu bilang kamu ngga cinta sama dia?"

Tangan kiri Almira memegang pengait hanger di mana gaun putih selutut dengan payet-payet kecil berkilau dibentang di hadapannya. Merasa itu salah satu yang cocok. "Bagaimana kalau yang ini? Ngga terlalu seksi 'kan? Maksudku, apa aku masih pantas mengenakan pakaian begini? Okey, mungkin aku harus memadankannya dengan legging hitam untuk menutupi kaki anehku."

"Kamu mengalihkan pertanyaanku, ya?" selaku dengan tatapan mata menodong.

Almira menaikkan ujung bibirnya ke atas, malas membahas. "Udah kubilang 'kan aku mau tahu reaksiku terhadap pria lain? Kamu lihat sendiri apa yang terjadi padaku semalam setelah bertemu dengan Juna? Jiwaku menolaknya secara terang-terangan."

"Padahal aku yakin dia sangat mencintaimu, tapi sekarang kamu menganggapnya seperti serangga pembawa bakteri yang menyebabkanmu alergi."

Almira membentangkan dress yang ia pilih tadi ke atas kasur agar tidak kusut. "Delaney juga sependapat denganku."

"Tapi dengan sikapmu yang begitu, kamu hanya akan menambah daftar korban perasaanmu saja. Kamu sedang bermain api, Ra. Itu bukan jalan menyelesaikan permasalahanmu. Kamu cuma butuh waktu untuk bisa menerima Juna, apa kamu ngga bisa bersabar sedikit?" celotehku. Entah dibayar dengan apa aku sampai membela pria itu mati-matian? Hanya saja aku tidak yakin Almira benar-benar tertarik dengan Levin yang sudah berkali-kali ia tolak.

"Levin satu-satunya pria yang paling memahami kondisiku, Vie. Hanya saja aku baru sadar akan hal itu. Dia pria yang paling pantas mendampingiku. Aku hanya tinggal menyesuaikan diri dengan keluarganya, dan kalau itu berjalan dengan baik, ngga akan ada penghalang apa pun lagi 'kan?" Almira memutar kembali rodanya menuju lemari pakaian, mencari legging. "Lagian aku udah pernah janji sama kamu soal ini. Kalau aku gagal dengan Han, maka aku akan memilih salah satu dari Rico dan Levin. Dan beruntungnya Levin adalah pilihanku. Apa kamu lupa?"

Ia mengingatkan kembali bagaimana penolakanku waktu pertama kali ia memutuskan Han sebagai pria yang ia cintai, aku benar-benar sangat menentangnya hingga membuatnya terpaksa mengucapkan janji itu. Namun, entah bagaimana caranya, kini aku malah berbalik berada di pihak pria yang sudah jelas mengkhianati dan meninggalkan penyakit pada adikku sendiri.

Aku mendengus lalu menyibukkan diri memunguti pakaian kotor yang hendak di cuci. "Aku cuma ngga mau kamu mengalami hal yang lebih parah dari apa yang udah pernah kamu rasakan. Berhentilah membuatku khawatir, Ra." Almira menangkap raut wajahku yang memang menunjukkan aura kekhawatiran itu. Bagaimanapun, aku adalah satu-satunya orang yang paling mengkhawatirkannya. Itu sudah jelas terpapar sejak ia menjadi disabilitas dan ditambah dengan gangguan mentalnya yang semakin membuat aku harus ekstra hati-hati memperlakukannya.

"Aku akan pergi duluan sebelum kamu," tukasku.

"Kamu mau ke mana?"

"Ke Rumah sakit menjenguk Sita. Karena sudah ada Levin yang menjagamu, jadi aku ingin pergi bersama Rio. Pulanglah sebelum jam sembilan malam, mengerti?"

"Bukannya kita akan menjenguk Kak Sita bersama-sama? Aku juga ingin melihatnya, aku juga rindu sama Andien," rengeknya padaku yang sudah menggumul beberapa pakaian ke atas lengan, siap untuk dikemas dan dibawa ke laundry.

"Kamu bisa minta pada Levin untuk menyusulku 'kan? Lagipula aku merasa aneh sama dia. Bagaimanapun Galih itu adalah sepupunya, masa dia ngga ada rasa prihatinnya sedikit pun buat Sita. Apa segitu dendamnya dia sama Galih sampai dia bersikap ngga peduli, padahal itu hanya masa lalu. Aku ngga―"

"Udahlah, Vie. Jangan menambah gossip, kamu memang pantang dipancing. Sekarang Levin itu adalah calon adik iparmu, jadi jangan ngomong soal keburukannya di depanku." Aku melengos hendak berlalu ke luar pintu namun urung karena Almira memanggilku lagi. "Setelah pulang dari rumah Levin aku akan langsung ke hotel G untuk menginap dua malam. Udah kubilang sebelumnya 'kan? Aku akan menghadiri acara penutupan paragames." Ia berbicara dengan wajah menghadap lemari, tidak melihat mataku.

"Ah, terserah kamu, deh. Yang penting kamu ngga melupakan obatmu," kataku mengingatkan.

Siang itu, kami terus memperdebatkan hal-hal kecil dan terkadang tertawa menyenangkan. Membahas soal tetangga sebelah yang selalu menggerutui anjingnya yang suka buang kotoran di atas sprei, mengenai security yang sudah punya gandengan baru, mengenai tante Mery yang kabarnya akan berkunjung ke Jakarta, dan berdiskusi mengenai penghasilan ladang sawit dan karet yang ternyata naik secara signifikan. Harga pasaran sawit yang sedang bagus membuka peluang kepada kami untuk memperlebar lahan dan menambah jumlah pekerja.

Jika pengajuan dana pinjaman kami ke bank disetujui dalam dua minggu ke depan, mungkin aku akan pergi ke pekanbaru untuk membeli dua puluh hektar lahan baru yang sudah diinformasikan harganya pada broker.

Dua jam kemudian, aku sudah ada di rumah sakit sesuai niat awalku untuk menjengun Sita. Ahh, aku rindu sekali padanya. Mataku berbinar-binar melihat ia sudah bisa duduk bersandar di atas ranjangnya. Sesekali tersenyum ketika Galih menciumi kening, dan bibirnya. Dia masih terlihat sangat cantik dengan rambutnya yang sudah kembali panjang sebahu―Galih merawatnya dengan sangat baik selama istrinya itu koma untuk waktu yang sangat lama.

Galih beranjak dari sebelah istrinya dan beralih padaku yang masih duduk di samping ranjang.

"Vie, apa yang kamu katakan tadi benar? Soal Almira yang akan bertunangan dengan Levin?"

Aku beranjak dari dudukku lalu berjalan menuju jendela kaca yang tirainya terbuka. Dari situ, aku bisa melihat pemandangan kota yang tampak seperti miniatur kecil. Galih mengikutiku, menjauh agar pembahasan kami tidak terdengar oleh istrinya.

"Aku juga sejujurnya mau tanya pendapat kamu soal itu. Serius, aku benar-benar ngga paham dengan jalan pikiran Almira saat ini. Ia pernah disakiti oleh seorang pria yang sangat dicintainya, tapi aku tidak menyangka kalau Almira menambatkan hatinya pada Levin. Adikku jelas-jelas ngga mencintainya, Gal."

Galih menggelengkan kepalanya dan membuang napas. Hendak mengatakan sesuatu padaku, namun gagal karena suara dering ponselku tiba-tiba berbunyi. Ada nama dr. Delaney terpampang di layar dan dengan cepat kugeser ke mode answer.

"Hallo, Dok," sapaku. Galih terdiam sesaat, lalu kembali duduk di sebelah istrinya.

"Hallo, Nouvie. Apa kau sedang bersama Almira sekarang?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Enggak, Almira sedang pergi dengan temannya. Apa ada yang penting?"

Aku mendengar suara decakan dr. Delaney. "Oh my God! Aku minta maaf karena terlalu lama memberi tahukan ini ke kamu. Aku bener-bener terkejut begitu tahu hasil lab lima menit yang lalu untuk pemeriksaan pil yang pernah kamu kasih ke aku. Obat yang pernah dikonsumsi Almira, dari mana ia mendapatkannya?"

Kuku ibu jariku tergigit, dahiku mengerenyit tak menahu. "Almira pernah bilang itu adalah vitamin yang diberikan oleh dokter yang pernah memeriksanya waktu berada di rumah Arjuna. Ada apa sebenarnya, Dok? Jangan membuatku takut."

"Nouvie, itu sejenis obat terlarang yang hanya dibuat oleh salah satu sekte gelap Black Mountain. Bahkan obat itu ngga beredar di pasar gelap! Jangan bilang Almira sudah menghabiskan lebih dari lima butir."

Deg

Aku hampir tidak bisa merasakan detak jantungku sepersekian detik. Ya ampun, Almira bahkan hanya menyisakan tiga butir dari dalam tube itu. Aku tidak tahu berapa jumlah pil itu sebelumnya, tapi aku yakin Almira sudah menelan lebih dari lima butir. Aku tidak bisa berkata apa-apa mendengar penjalasan Delaney yang sama cemasnya terhadapku. Menangis merutuki diri sendiri. Bersembunyi dari tatapan ketiga orang yang terus memperhatikanku tak wajar. Terlebih saat Delaney bicara soal Almira yang tidak bisa diselamatkan.

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang