21st Chapter - [An Agreement]

2.1K 349 118
                                    

Nouvie Freddie

Setelah fajar penuh kebahagiaan itu, aku menyuruh Almira untuk beristirahat. Buruknya, demamnya kembali tinggi. Aku tentu tahu harus menyalahkan siapa. Han meminta maaf tapi tidak menunjukan penyesalan yang mendalam karena dalam permintaannya terselip senyum bahagia yang entah bagaimana caranya membuatku urung menyalahkan ia sepenuhnya.

Aku dibuat kerepotan lagi oleh adikku sendiri, tapi tak mengapa sebab dengan begini aku jadi lebih bersyukur, menandakan bahwa keseharian yang sporadis itu telah kembali. Han membantuku mengganti kompresnya selagi aku membantu bundanya Han menyiapkan sarapan di dapur juga mencuci pakaianku dan Almira. Sesekali aku memeriksa, Han hampir tidak beranjak satu detik pun dari sisi Almira. Pria itu sudah seperti properti di dalam kamar yang bernyawa. Ia bahkan dengan sukarela mengosongkan kantung air seni Almira yang penuh selagi aku memasak sesuatu untuk makan siang Almira.

Candaan mereka begitu renyah. Tak ubahnya dua manusia yang baru kasmaran. Aku bisa mendengarnya dengan jelas sebab pintu kamar dan dapur berjarak enam meter saja. Bibirku sesekali menyunggingkan senyum setiap kali mendengar Almira tertawa. Aku mengakui kepiawaian Han menciptakan atmosfir nyaman dalam diri Almira, dan terus terang itu sangat berarti. Bundanya Han pulang pada siang hari di jam istirahat dinasnya untuk memeriksa keadaan Almira. Kami berempat ada dalam satu kamar untuk menghibur adikku itu meski Han membuatku jengkel karena tingkah sok manjanya pada gadis yang berhasil dilucuti hatinya.

Aku senang ternyata bundanya Han tampak tidak terbebani dengan kondisi Almira. Wanita itu justru meminta kami untuk memanggilnya dengan sebutan 'Bunda'. Dan itu membuatku terenyuh, mata Almira sampai berkaca-kaca saking bahagianya. Aku tahu—sama sepertiku—kami merasa sangat dihargai dan dicintai sebagaimana kami rindu pada sosok ibu.

Dua hari sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah Han, kondisi Almira belum sepenuhnya pulih dan ia masih terlihat lemas. Ia tidak ke mana-mana, masih melekat di atas tempat tidur kecuali ke toilet untuk mandi atau buang air besar. Han selalu bersedia membopongnya selama kursi roda Almira diperbaiki di bengkel kenalan pria tersebut. Dia hanya akan pergi ketika Almira sudah tertidur pulas.

Di saat itu juga aku bisa meninggalkannya untuk pergi membeli keperluan pribadiku dan Almira di minimarket terdekat. Bunda bilang jaraknya hanya sekitar tiga ratus meter, tidak terlalu jauh jika berjalan kaki kupikir.

Ketika hendak keluar rumah melewati kamar Han, secara tak sengaja aku mendapati Rani menarik paksa abangnya itu ke dalam salah satu kamar.

"Abang serius tentang perasaan abang ke kak Almira?"

"Persis seperti apa yang Bunda bilang ke Rani. Abang bener-bener serius dan ngga ada niat Abang untuk mempermainkannya."

"Dengan cara membohonginya begini?" Aku mengerutkan kening. Memasang telinga lebih tajam dari sebelumnya.

"Rani, ini cuma identitas palsu. Semuanya bisa diperbaiki. Abang akan jujur padanya dan mengatakan yang sebenarnya. Almira pasti mengerti."

Rani terdengar membuang napasnya kasar. Nada bicaranya mengisyaratkan hal yang tidak perempuan itu suka. "Gila ya, Bang! Apa abang ngga lihat bagaimana berharapnya dia sama Bang Juna sementara Abang memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri."

Juna? Memanfaatkan? Apa yang dimaksud Rani dengan semua itu? Aku pun menelan air liurku dengan perasaan semakin curiga. Dadaku berdesir hebat menanggapi keterkejutan.

"Sssstt... suaramu pelanlah, Ran. Nanti kalau ada yang dengar gimana?" Jeda sebentar, aku mendengarkan lagi. "Ini semua Abang lakukan demi kebaikannya juga. Supaya masalahnya selesai dan dia bisa hidup dengan tenang tanpa ada tekanan dari siapa pun lagi. Kamu ngga tahu beban besar apa yang selama ini dipikulnya sendiri. Abang cuma ingin menolongnya."

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang