23rd Chapter - [The Doctor]

1.8K 317 91
                                    

Almira Freddie

"Lukamu sudah mulai mengering, usahakan jangan sampai terkena air, ya?" Aku hanya mengangguk sembari berusaha membalikkan tubuhku lalu duduk bersandar.

"Terima kasih, Dok," ucapku pada dr. Tania. Ia adalah dokter yang diminta khusus oleh Bunda untuk memeriksa keadaanku sebelum aku meninggalkan rumah ini besok.

Aku dan Han tidak akan kembali ke Medan sebab aku tidak punya waktu lagi untuk bersantai-santai sementara tujuh hari ke depan aku harus membawa nama Indonesia di pertandingan air pistol se-Asia Tenggara. Besok, Han harus bersedia menemaniku sampai ke Jakarta karena mustahil bagiku untuk berpergian sendiri. Nouvie sudah menungguku di sana sejak tadi pagi, ia tiba lebih dulu bersama Rio. Kurasa sekarang dia sedang sibuk berberes, membersihkan apartemen kami setelah tiga bulan kami tinggalkan. Aku yakin ia akan menyematkan aroma lavender di seluruh ruangan nantinya. Atau sedang sibuk memenuhi lemari es dengan persediaan makanan ringan, buah-buahan, minuman hingga bahan makanan pokok.

"Sebenarnya Bunda belum mengizinkan Almira meninggalkan rumah ini, Bunda masih ingin mengobrol banyak denganmu dan lebih dekat. Tapi tugas mengharumkan nama bangsa lebih penting, bukan?"

Bunda mengelus punggungku lembut. Saat aku sedang membantu bunda menyiapkan makanan untuk makan siang satu jam yang lalu, hanya itu yang bisa kulakukan untuk membantu rutinitasnya. Namun begitupun, bunda mengaku sangat senang karena bisa mengobrol banyak denganku. Punya waktu berdua untuk saling bercerita tanpa gangguan dari anak laki-lakinya yang sekarang sedang pergi entah ke mana bersama ayah.

"Sesekali Bunda boleh menyaksikan Almira bertanding. Atau, bunda juga bisa menontonnya secara live di stasiun tivi atau channel tivi website."

"Ahhh, website! Bunda mana ngerti yang begituan." Ia terkekeh sambil tangannya sibuk mengaduk sayur lodeh yang hampir matang. "Sepuluh menit lagi Bunda harus kembali ke puskesmas, tapi nanti bunda akan kembali lagi untuk membawakan dokter untukmu. Bunda harus memastikan kondisi Almira benar-benar baik untuk perjalanan ke Jakarta."

"Dokter?" tanyaku. Sebelah alisku menaik dan aktifitas mengupas timunku terhenti. "Bunda sudah merawat Almira dengan sangat baik, kenapa harus panggil dokter lagi?"

Bunda mengambil wadah mangkuk lantas menyiduk sayuran yang sudah matang ke dalamnya. "Ngga apa, Bunda tahu lukamu sudah hampir sembuh setelah tiga hari bed rest, tapi bunda ingin tahu apakah dokter berpendapat sama dengan bunda. Setidaknya dokter lebih tahu penanganan yang tepat untuk lukamu. Itu ngga bisa dibiarkan sampai di situ saja, lho. Bunda ingin kondisi Almira sudah siap untuk menghadapi aktivitas latihan sampai dengan pertandingan. Apa Almira keberatan?" Bunda meletakkan mangkuk panas ke atas meja makan.

Aku menunduk, terlalu berlebihan kurasa, tapi aku harus menghargai apa yang sudah Bunda lakukan untuk kebaikanku, bukan? "Almira nurut aja, Bunda."

Dan di sinilah dokter cantik itu sekarang. Sejak kedatangannya dari awal ia tidak berniat membuka masker penutup mulutnya. Namun dari mata dan alisnya yang terlukis rapi, dokter muda ini pastilah sangat cantik dan ramah.

"Bu Nindia sudah merawatmu dengan sangat baik, kok. Jadi saya ngga perlu membersihkan lukamu lagi." Ia merogoh isi tas peralatannya dan mengambil satu tube yang berisi pil bundar berwarna putih. "Obat yang diberikan Bu Nindia juga obat yang terbaik, hanya saja ia tidak menyertakan vitamin. Saya berikan vitamin ini untukmu, minumlah satu hari sekali. Ini akan sangat membantu memulihkan tenagamu. Kamu akan jauh lebih baik setelah meminumnya."

Aku menerima vitamin itu dan membaca kemasannya. Ahh, aku tidak mengerti istilah farmasi, yang kutahu itu hanyalah pil yang mengandung vitamin A, B, C, dan D. Komposisi yang banyak.

"Harus dihabiskan, ya?" Baiklah, aku hanya ingin tersenyum padamu Dok, aku tidak mungkin menyiakan vitamin ini, karena Dokter adalah utusan khusus dari Bunda. Mana mungkin aku mengecewakannya. "Saya permisi dulu kalau begitu."

"Sekali lagi terima kasih, Dok," sapaku saat ia berlalu dariku meninggalkan harum parfum yang hampir membuat hidungku sakit.

Kuambil satu butir pil dari dalam tube tadi lalu kutelan bersama dengan air putih. Setelah sholat dzuhur, tampakya aku harus istirahat lagi. Sebab itu yang dipesankan Bunda padaku. Atau barangkali aku harus menghibur diriku dengan Han, jujur aku rindu padanya. Padahal baru dua jam dia meninggalkanku. Entahlah, pria itu, ternyata bisa juga membuat pikiranku kacau dengan segala macam pola tingkahnya untuk menyisakan kangen yang berlebihan.

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang