12th Chapter - [Savannah]

2.3K 405 132
                                    

Arjuna Shander

Lelah dengan emosi tak terkendaliku saat melarikan diri. Aku memperlambat laju mobil dan menepikannya di sebuah jalanan sepi. Di mana padang rumput sabana membentang di sekitarnya. Kupukul setir sekuat tenaga dengan teriakan amarah. Melampiaskan kekesalanku tak terkendali dan melempar topiku ke jok belakang. Tanganku mengambil rokokku dari atas dasbor lalu keluar dari mobil.

Ini seperti serangan seribu pukulan yang mendera dadaku bertubi-tubi. Tak bisa melawan dan tidak ada kekuatan apa pun yang bisa kukeluarkan. Alhasil, aku memaki diriku sendiri yang telah kehilangan kemampuan menghukum orang lain.

Dengan ilmu bela diri yang mumpuni, aku bisa saja menghajar mereka satu per satu dan membuat mereka berlutut minta ampun, bahkan menggalikan kuburan untuk mayat mereka.

Bagaimana caranya melindungi orang yang sangat penting bagimu tanpa harus melibatkan senjata pemusnah musuh tetapi tidak meninggalkan efek apa pun padanya. Sementara orang yang penting bagimu itu adalah aset terbesar yang harus disimpan baik-baik. Itu ibarat suatu opsi yang tidak bisa dijangkau dengan ilmu mata-mata internasional mana pun. Ahh... terlebih lagi aku mulai tertarik pada asetku itu.

Aku berusaha menenangkan diri. Bersandar pada batang pohon rindang sambil menyalakan rokok. Lagi-lagi aku membuat tinjuan pada batang pohon yang tak bersalah tanpa rasa sakit. Kuhisap rokokku dengan emosi masih menggelayut. Menghela napas panjang. Perlahan nikotin menyebar ke otakku hingga pikiranku terkendali.

Gila, aku memikirkan Almira sedari tadi tapi tidak memedulikannya yang hanya bisa duduk diam di dalam mobil. Kutolehkan pandanganku pada Almira yang―hanya memasang wajah datar sambil melihatku.

Perempuan itu, Sedari tadi aku memikirkannya tapi dia hanya memasang ekspresi datar. Mungkin ia marah melihatku merokok. Yah... aku lupa pada janjiku. Kulihat sekali lagi wajahnya. Masih dengan ekspresi yang sama. Segera kumatikan dan membuang rokok yang masih tersisa setengah lalu menghampirinya untuk membuka pintu mobil.

"Kumohon jangan membalas perbuatanku tadi," pintaku dengan maksud agar Almira tidak ikut-ikutan merokok. Aku tahu dia tidak pernah main-main dengan ucapannya. Meskipun belum terbukti hingga sekarang.

"Akan kupikirkan nanti."

Terkadang aku tidak bisa menyangka ia akan mengatakan apa. Aku tersenyum, lalu membawanya bersamaku untuk berteduh di bawah pohon.

Angin yang menerpa dari arah barat membuat anak rambutnya tampak berantakkan hingga membuat matanya tidak bisa leluasa melihat pemandangan. Almira mengikat rambutnya membentuk ekor kuda. Aku bersandar pada pohon, mengangkat kaki kananku dan memasukkan kedua tanganku kedalam saku jeans. Memandangi Almira yang sama sekali tidak ada raut sedih atau ketakutan di situ. Aku menunggunya mengatakan sesuatu, tapi sepertinya tidak ada niat di dalam hatinya untuk membuka cerita tentang peristiwa tadi. Padahal jelas-jelas Nouvie telah mengatakan hal yang merendahkannya.

Aku tidak ingin membahas itu. Namun lagi-lagi memoriku kembali terganggu soal perlakuan Badar tadi.

"Kenapa membuang rokokmu yang maish setengah?" Almira meleburkan ingatanku. Aku senang dia kembali bicara.

"Maaf, aku butuh itu untuk sedikit membuatku tenang. Aku lupa soal lollipop." Almira hanya tersenyum kurasa ia mafhum kali ini. "Almira, kenapa kamu membiarkan Badar mengganggumu? Kamu bisa aja menembaknya dengan pistolmu 'kan?"

"Aku pikir kamu bakal datang menolongku."

"Apa? Itu bukan alasan."

Ia menggeleng. "Mana mungkin aku seceroboh itu, Han. Kalau aku menembak Badar, komplotan Darman di dalam sana pasti akan mencari tahu asal suara tembakan. Mereka pasti dengan cepat mendapati kita terutama kamu yang ngga pegang senjata apa-apa. Mau ngga mau, aku harus melawannya dengan tanganku sendiri."

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang