Almira Freddie
Pagi-pagi sekali, bahkan belum bisa disebut fajar, Monica sudah membangunkanku dengan sigap. Aku melirik jam dinding yang terpaku di atas pintu kamar, masih menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Secara terpaksa aku menggesitkan tubuhku untuk membersihkan diri tanpa mandi, mendandani tubuhku dengan pakaian yang sudah dipilihkan Monica untukku. Sebuah hot pants pendek di atas paha dan sebuah jaket berhoodi hitam. Monica tidak mengizinkanku mengenakan jin karena luka yang masih basah di kakiku tidak boleh terhimpit benda sempit. Aku menurut saja semua kata-katanya, toh kakiku juga tidak peduli dengan udara dingin. Dan hot pants yang kukenakan sukses menampakkan betis jenjangku yang masih terbalut perban.
Lagi-lagi, aku harus menurut saat Monica memintaku menunggangi punggung Levin untuk bisa sampai ke ruang rahasia bawah tanah. Menelusuri tangga spiral dengan sangat hati-hati. Salah seorang asisten Levin membawakan kursiku lalu meletakkanya di sudut pintu masuk begitu kami sudah sampai pada anak tangga terakhir. Aku kembali duduk pada tahtaku, mengikuti ke mana arah Monica membimbingku untuk masuk ke gudang persenjataan.
Pintu dibuka lebar, dan pemandangan menakjubkanpun tersaji. Aku mengedarkan pandanganku kesekililing dinding dan rak yang dipenuhi dengan senjata api. Mulai dari pistol sampai bazoka. Decak kagumku menggumam berkali-kali, menarik perhatian Monica yang tersenyum hasut padaku.
"Kau suka?" tanyanya.
Aku tidak mengangguk menyetujui, justru menggeleng hampir tak percaya dengan harta karun yang terlihat memukau. Ini sungguh gudang mainan yang membuat pikiranku tak sabar ingin menjajal mereka satu per satu.
"Gila, apa aku boleh mencoba mereka?"
Levin―yang sedang berdiri di sudut ruangan dan memegang sebuah pistol perak melirik padaku. "Semua ini milikmu. Pilih dan ambilah mana yang kamu suka."
"Pilih satu yang menurutmu cocok untuk shot jarak sekitar delapan ratus meter," ujar Monica.
Wajahku menengadah lebih tinggi menatapnya. "Maksudmu? "
"Targetmu kali ini akan lebih sulit, Fel. Kau harus menembak target dari atas gedung yang tak terlihat. Dengan jarak sekitar delapan ratus meter. Pilihlah rifle mana yang cocok untuk pekerjaanmu."
Aku memanuverkan rodaku untuk lebih dekat dengan berbagai macam rifle yang tertempel apik di dinding berlatarbelakang merah. Monica dan Levin saling berpandangan. Menyusul Kinan yang masuk dengan langkah santai. Menyandarkan punggungnya pada dinding polos. Memperhatikanku juga.
Tangan kananku meraba sebuah senapan berukuran sedang berwarna kelabu―Cheytac M200―jenis senapan yang tidak terlalu berat dan tidak juga ringan. Jarak tembak lebih 1,4 mil. Aku hampir memilihnya menjadi mainanku. Namun urung setelah aku mengajukan pertanyaan pada Monica.
"Jelaskan secara rinci siapa targetku. Aku perlu tahu apakah dia bergerak tanpa hambatan? Apakah dia berada di dalam gedung? Atau berada di dalam mobil?"
Monica mengedarkan pandangannya pada Kinan―Si wanita yang punya seribu taktik mengalahkan musuh. Aku pun ikut mendengarkan penuturan Kinan yang masih bersandar pada tembok.
"Dia berada di dalam mobil yang bergerak. Jika kau tidak bisa menembak orang yang ada di dalam mobil, setidaknya kau harus membuat mobilnya celaka dan meledakkan tanki bahan bakar mesinnya. Seperti yang dikatakan Monica, jarakmu hanya delapan ratus meter."
Dengan cepat aku mengangguk paham. Jika begitu, Cheytac M200 tidak cocok untukku. Mataku melirik rifle besar yang bersebelahan dengan pilihan pertama. Aku tahu ini senjata yang sangat berat, tapi dengan tripot yang menopang senjata tersebut, aku rasa tidak akan menyusahkanku sama sekali. Barret M107, aku langsung meminta Levin mengambilkannya untukku dan pria itu menawariku untuk menjajal walau sekedar telescope –nya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)
AçãoACTION, THRILLER, ROMANCE Arjuna Shander, seorang agen rahasia yang ditugaskan khusus untuk mencari barang bukti kasus pembunuhan seorang Pejabat Menteri bidang Kemaritiman 6 tahun lalu yg mungkin disimpan oleh mantan atlet downhill bike bernama Alm...