48th Chapter - [Please, No!]

1.6K 250 125
                                    

Arjuna Shanders

Helena menggelengkan kepalanya ke arahku. Wajahnya mengernyit, seakan berusaha meredam kepanikan, dan dari bibirnya terujar sebuah kata tanpa suara, Almira, bawa pergi! Seketika, aliran darahku seolah berkumpul di jantung, degupannya dua kali lebih cepat dari detak normal.

Tanganku langsung menepuk bahu Daniel yang masih berdiri ketakutan di sebelah kiriku. Membuat gerakan sedikit melompat, aku membuka pintu mobil di mana Almira masih tampak antusias untuk menembak.

"Siapa wanita itu? Bagaimana bisa dia menepis peluruku?" Almira bertanya dengan wajah seperti frustrasi manakala sasarannya meleset. Ia duduk di tepi jok tampak berusaha keluar, matanya masih menatap Helena dan Eleanor yang—kurasa masih saling bernegosiasi.

"Akan kujelaskan nanti, sekarang, aku harus membawamu pergi dari sini." Bagaimana caranya? Aku sendiri bingung dengan apa yang harus kulakukan agar bisa membawa gadis ini dan tidak menjadi sasaran kemarahan si wanita misterius. Pembunuh kejam yang tak mengenal ampun—kurasa.

"Mau apa kamu?" tanyanya dengan wajah seolah ingin menghardikku.

Gugup, tak pernah aku secemas ini pada situasi. "Aku akan menggendong dan membawamu ke tempat yang aman, Sayang."

"Menggendongku? yang bener aja, aku mau kursiku!"

"Akan lebih mudah kalau aku membawamu di punggungku, Almira. Tolonglah, bisa ngga sih kamu membantuku sedikit saja?"

Almira menatapku nyalang, mana pernah aku mendapatkan tatapan seperti itu darinya. "Kamu mau aku keliatan kaya orang bodoh dengan bertengger di punggungmu?"

"Almira, bukan begitu."

"Kalau begitu, keluarkin kursi rodaku. Jangan kamu pikir aku ngga bisa berbuat apa-apa dengan tubuh yang setengah berfungsi."

Aku menarik napas dalam, kesabaranku, semoga saja masih pada tempatnya. Aku berupaya mengindahkan keselamatannya, apa pun akan kulakukan untuk melindunginya tentu. Bahkan dengan sikap keras kepalanya seperti ini, aku pun tidak bisa berkutik dengan apa yang dikehendakinya. Buru-buru aku mengambil kursinya di bagasi, merakitnya dengan gerakan cepat karena telah terbiasa, kemudian menyerahkannya pada Almira yang dengan cepat pula menempatkan tubuhnya di situ.

"Aku minta kamu waspada, jangan sesuka hatimu menembakinya. Selagi Helena sedang bicara dengan wanita berjubah hitam itu, kita harus mencari tempat teraman, atau dia akan―"

"Apa dia mengincarku?" sambungnya memotong kalimatku. "Aku cuma mau tau sejauh mana kemampuannya menepis peluruku, dan ini ... benar-benar menarik, kamu tahu?" Ia menyimpan satu pistolnya di pengait yang sudah terpasang di betis kananya, sedangkan satunya lagi masih ia genggam.

Tubuhku hampir jatuh ke belakang melihat seringainnya yang seperti tak sabar ingin membunuh orang. Kenapa dia tidak berpikir tentang keselamatannya sendiri, apa dia belum lihat bagaimana kejamnya wanita itu membunuh tiga pria yang bahkan lebih besar darinya. Seharusnya itu sudah menjadi pemandangan menakutkan bagi gadis sepertinya.

Ia menarik mundur rodanya menjauh dari badan mobil. "Aku minta magazen cadangan." Tangan kanannya menengadah padaku.

Sesuai pintanya, aku mengambil tiga buah magazen dari saku jaket kemudian menyerahkan benda berisi amunisi itu padanya tanpa keberatan, sebb kurasa itu juga sangat penting untuknya. Tentu saja, dia punya kontrol atas tubuhnya sendiri, dan kursi roda itu sudah menjadi bagian dari tubuhnya, seharusnya aku tidak perlu mengkhawatirkan itu.

Dari earphone, aku masih bisa mendengar perdebatan antara Helena dan Eleanor. Setidaknya aku jadi tahu siapa wanita itu sebenarnya.

"Terus terang kukatakan, aku dibayar untuk membawa gadis itu pada Tn. Van Groom. Dan seperti yang kau tahu, The Order is a command, tak ada alasan untuk membantah kesepakatan. Kuharap kau masih ingat peraturan itu."

THE LADY HAMMER (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang