Prolog

515 25 9
                                    

"Tidak ada lahan untuk mendarat, Capt!" lirih pemuda tanggung itu kesekian kalinya pada laki-laki setengah abad di sampingnya.

Ruang kokpit itu kembali lengang. Hanya menyisakan desah nafas tertahan yang menggantung di langit-langit pesawat. Sementara tangan-tangan dua manusia itu tetap bekerja. Mencari solusi untuk menyelamatkan nyawa-nyawa orang yang ada di kabin pesawat.

Keheningan itu berakhir saat seseorang masuk melangkah ke dalam ruang kokpit. Langkahnya jelas terdengar gusar dan semakin mendekat.

"Apa kalian sudah menemukannya?" tanyanya dengan intonasi tak terkendali.

Kedua manusia itu menggeleng sebagai jawaban.

Mereka sudah sibuk berputar-putar sedari tadi. Sayangnya, sama sekali tidak ada tempat untuk mendarat. Semua tempat penuh dengan reruntuhan bangunan dan tidak satupun bandara yang bisa mereka hubungi.

Mendengar jawaban putus asa itu, tak ayal membuat Evrena mengusap wajahnya kebas. Ya Allah, apa yang harus dia lakukan?

Tiba-tiba suara monitor mesin mengalihkan perhatian ketiganya.

"Apa yang terjadi?" tanya Evrena dengan suara bergetar.

Namun, tak satupun dari pilot maupun co pilot itu yang menjawab pertanyaannya. Tangan mereka masih lincah menari di atas panel-panel yang tak diketahuinya. Mencari sebab mengapa bunyi lengkingan itu terjadi.

Hitungan menit, wajah laki-laki setengah abad itu berubah pucat. Fakta yang ia temukan adalah hal terburuk yang dapat terjadi di atas udara seperti ini.

"Ada apa?" tanya Evrena dengan nada mendesak.

"Kita kehabisan bahan bakar,Ev. Kita harus segera mendarat atau kita akan jatuh bebas dari ketinggian dua puluh tujuh ribu kaki ini."

Itu kabar buruk yang benar-benar serius. Evrena terpaksa harus menyimpan idenya agar mereka melanjutkan penerbangan ke negara tetangga atau kemanapun untuk mendarat.

Lagi, Evrena mengusap wajahnya kebas. Walau ia tidak ingin, tetapi tatapan kedua orang dihadapannya membuatnya harus mengambil keputusan dalam waktu singkat. Ia harus memilih antara mendarat di atas reruntuhan bangunan dengan resiko sebagian badan pesawat hancur atau jatuh mendadak di atas laut yang siap membuat mereka meregang nyawa di dalamnya. Meski tentu saja, keputusan apapun yang ia ambil, itu tetap akan mempertaruhkan nyawa sahabat-sahabatnya.

Baiklah. Tidak ada pilihan.

Memantapkan hati, Evrena tiba-tiba meminta pilot itu bangkit dari posisinya. Ia segera memegang kendali pesawat lantas berucap mantap,

"Biar aku yang bertanggung jawab terhadap penerbangan ini sampai akhir."

-lw-

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang