BAB 6 | Dua Sejoli Penyimpan Rasa (2)

98 10 2
                                    

Pukul 06:55 a.m

Gedung pertemuan itu terlihat ramai. Kendaraan-kendaraan mewah mulai memenuhi tempat pakir. Begitupun deretan kursi yang ada di bagian dalam. Nyaris separuhnya telah terisi. Sebagian besar dari mereka berwajah asia dengan mata sipit yang terlihat tajam. Kontras sekali dengan beberapa wajah eropa dan rambut blond yang terlihat cukup mencolok.

Saat itulah, perhatian hampir semua orang yang ada di dalam gedung itu tertuju pada satu titik, dimana seorang perempuan tengah melangkah masuk dengan anggun. Phasmina aquablue yang menutupi rambutnya membuat gadis itu menjadi berbeda dengan cara yang menarik. Gamis yang membalut tubuhnya ditambah dengan jas putih membuatnya terlihat semakin berwibawa. Seisi ruangan menatapnya seolah baru saja tersihir pesona seorang bidadari.

Satu-satunya yang berhasil mengalihkan perhatian dari gadis itu adalah Ray. Buktinya, ia sudah sibuk beristighfar dan mewanti-wanti hatinya agar jangan sampai berdesir karena kecantikan seseorang yang bukan mahram.

Ray terselamatkan dari perang batin mendadak karena bunyi sound system yang tiba-tiba saja memenuhi isi ruangan. Laki-laki berkaca mata itu memperbaiki posisi duduknya senyaman mungkin agar bisa menikmati acara ini sampai selesai.

Ya. Pagi ini Ray menghadiri sebuah acara seminar di Negara Jepang. Seminar ini berskala internasional dan kebanyakan yang hadir adalah ilmuwan, profesi terkait ataupun professor ternama dari setiap negara. Ray sendiri datang karena mewakili profesornya yang harusnya hadir hari ini. Mungkin terdengar berlebihan karena Ray yang bahkan belum magister mewakili seorang professor, tetapi percayalah bahwa Ray benar-benar pantas untuk itu.

Di luar dugaan, perempuan yang tadi sempat menyedot perhatian seisi ruangan adalah pembicara di seminar ini. Jelas hal itu mengundang beragam respon dari peserta seminar. Sebagian besar merasa kecewa karena mereka sudah berekspekstasi untuk mendengar pemikiran dari Calvin, seorang ilmuwan muda yang kini sedang naik daun akibat penemuannya. Namun, beberapa juga merasa antusias karena jika gadis ini datang untuk menggantikan Calvin, maka mereka harusnya sama hebatnya.

Sesi penyampaian materi berlangsung selama 20 menit. Banyak yang terkesima dengan cara Russel menyampaikan materi. Tentu saja. Meski tidak ikut tenar seperti Calvin, Russel sebenarnya ikut mengerjakan hampir semua penemuan-penemuan itu. Tak heran jika Russel sama mengertinya dengan Calvin soal perkembangan teknologi.

Setelahnya, sesi tanya jawab dan diskusi dibuka. Ada sekitar puluhan orang yang mengangkat tangan. Ray adalah salah satu di antaranya. Namun, Ray mengangkat tangan bukan karena murni ingin bertanya. Melainkan ada sesuatu yang mengguncang hatinya sejak awal gadis itu memperkenalkan dirinya.

Russel. Bukankah nama itu begitu familiar?

Di dunia ini ada kurang lebih 7 miliar manusia. Ada begitu banyak kemungkinan kesamaan nama, kemiripan wajah, dan hal-hal familiar lain yang mungkin terasa seperti déjà vu. Jelas sebagian besar di antaranya hanya sebatas pemikiran saja. Namun, Ray sungguh ingin memastikan alasan debaran hatinya yang tak kunjung berhenti ini.

Tak kurang dari 19 kali Ray mengangkat tangannya. Ketika ia mengangkat tangan untuk ke 20 kalinya, kesempatan itu akhirnya datang. Semua ruangan menatap ke arahnya, termasuk gadis itu yang terpisah sekitar lima meter darinya.

Mata mereka akhirnya bertatapan.

Ray mulai memperkenalkan diri dan menyebutkan pertanyaannya. Meski jauh, dari posisinya saat ini, Ray seolah bisa melihat perubahan eskpresi wajah pada perempuan itu.

Pertanyaan Ray selesai. Kini seisi ruangan mengalihkan perhatiannya pada Russel, menanti jawaban dari gadis itu.

"Nama anda, bagus sekali. Nama itu mengingatkan saya pada seseorang dari masa lalu saya. Tapi baiklah, mari kita fokus pada pertanyaannya..."

Kini Ray tersenyum tipis dari tempat duduknya. Ia sudah tidak lagi mendengarkan jawaban Russel. Kalimat sebelumnya sudah membuat Ray puas. Tidak salah lagi

●●●

Sembilan tahun lalu, Ray adalah seorang laki-laki pendiam dan pemalu. Ia bahkan sulit bergaul dan memulai pembicaraan dengan orang yang tidak terlalu dekat dengannya. Itulah alasan kenapa Ray selalu menempel pada Burheen. Bahkan, ada sebuah ungkapan yang terkenal seantero asrama, yaitu dimana ada Burheen, pasti di sana ada Ray.

Di balik sikapnya yang dingin dan tidak banyak bicara, rupanya Ray punya charisma yang bisa meluluhkan hati. Memang, saat itu ia masih sekolah menengah, tetapi tak kurang ada tujuh perempuan yang mengaku menyukainya, atau setidaknya begitulah yang sering Ray dengar. Bahkan katanya ada yang hubungannya rusak karena sama-sama menyukai Ray. Padahal, tidak satupun dari mereka yang Ray respon perasaannya.

Tentu saja hal itu kadang menjadi pembicaraan teman-teman dekatnya, salah satunya Hiro. Ketimbang Burheen, Hiro memang lebih sering menanyainya soal ini.

Suatu sore, saat Ray sedang istirahat setelah bermain voli di lapangan sekolah, Hiro tiba-tiba saja duduk di sampingnya.

"Ray, lo suka sama siapa, sih?"

Pertanyaan mendadak itu jelas membuat Ray tak habis pikir.

"Kenapa tiba-tiba lo tanya itu?"

"Ga ada sih, cuma penasaran aja, siapa sih yang berhasil mencuri hati Ray, sosok yang jadi rebutan perempuan ini."

Sial! Ray menimpuk Hiro dengan bola voli.

Ray memang tidak pernah menjawab pertanyaan itu. Namun, ia punya jawabannya sejak lama. Jawaban yang hampir tidak pernah berubah meski sembilan tahun telah berlalu. Dan atas sebuah keajaiban, di hari yang tadinya Ray pikir tidak spesial, jawaban itu sedang berada satu ruangan dengannya.

Seminar sudah selesai sejak 15 menit yang lalu. Ruangan sudah hampir kosong lantaran peserta seminar sudah pergi untuk mengejar jadwal mereka masing-masing. Tapi tidak dengan Ray. Laki-laki itu masih duduk di tempatnya, menatap lurus ke arah backstage, dimana gadis tadi menghilang setelah seminar selesai.

10 menit lagi berlalu ketika kemudian Ray melihat gadis yang ditunggunya melangkah menuju pintu keluar. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Ray bangkit dari posisinya dan melangkah setengah berlari ke arah gadis itu. Tanpa direncanakan, Ray spontan menggenggam lengannya dan mengucapkan kata tunggu.

Russel berbalik. Tatapan mereka bertemu.

"Sorry? Ada perlu apa?" tanya Russel dalam bahasa inggris yang terdengar fasih. Gadis itu masih ingat bahwa laki-laki di hadapannya ini adalah salah satu peserta seminar.

"Kamu ga beneran lupa sama saya, kan?"

Bahasa Indonesia itu membuat Russel terkesiap. Sekali lagi ia menatap laki-laki di hadapannya. Laki-laki jangkung dengan warna kulit yang sedikit gelap dan kacamata photochromic yang bertengger di hidungnya. Bukankah nama laki-laki ini tadi Ray? Nama yang 100% sama dengan nama laki-laki dari masa lalunya. Jangan bilang...

"Ray? Ray yang aku kenal?"

Ray menghela napas lega. Ia melepaskan genggamannya pada lengan Russel.

"Saya pikir kamu benar-benar amnesia soal kita."

-lw-

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang