BAB 22 | Kabar Buruk

46 7 3
                                    

Harusnya malam itu bisa berakhir dengan baik bagi Essiel, begitupun bagi teman-temannya yang lain. Harusnya tidak ada yang mereka khawatirkan. Ini hanyalah hari biasa, dimana kebetulan mereka punya kesempatan untuk berkumpul sebelum akhirnya kembali ke kegiatan masing-masing.

Sayangnya, hal itu berubah 180 derajat ponsel saat Essiel yang ada di atas nakas berbunyi. Gadis yang baru saja ingin tidur itu buru-buru mengangkat panggilan. Dalam hati, ia bertanya-tanya siapakah yang menghubunginya larut malam seperti ini.

Nama Russel tertulis di layar.

Tiba-tiba saja perasaan Essiel menjadi tidak karuan.

Sembari mengangkat panggilan, Essiel keluar kamar. Ia takut Alya akan terbangun akibat suaranya.

"Assalamu'alaikum, Ssel? Ada apa?"

Suara Essiel rupanya menarik perhatian Burheen yang baru akan masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu akhirnya memutar langkah ke arah Essiel, penasaran dengan apa yang terjadi.

"Wa'alaikumussalam, Es. Maaf aku nelfon jam segini. Di sana pasti udah malam banget, ya. Ada sesuatu yang harus aku ceritakan."

●●●

Setelah kejadian mengerikan itu, Calvin yang seolah sadar baru saja melakukan kesalahan, buru-buru pergi dari sana. Meninggalkan Russel yang menangis hebat melihat kondisi Ray. Bahu laki-laki itu koyak. Darahnya mengucur deras. Beberapa beling kaca masih tertinggal di ototnya.

Sadar bahwa Ray bisa saja kehilangan lebih banyak darah jika tidak segera ditangani, Russel menghapus air matanya. Ia segera menghubungi ambulan untuk membawa Ray ke rumah sakit karena mustahil ia membawa laki-laki itu sendirian.

Berselang tujuh menit, suara ambulan terdengar mendekat. Ray pun dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan setengah sadar.

Sesampainya di rumah sakit, Ray ditangani dengan cepat. Laki-laki itu mendapatkan transfusi darah dan beberapa jahitan di bahunya. Di luar luka itu, untunglah Ray baik-baik saja. Ia bahkan sudah sadar secara penuh sekitar dua puluh menit pasca tindakan.

Malam itu, Ray dirawat di rumah sakit. Keadaannya masih harus diobservasi sampai besok. Russel yang merasa bertanggung jawab memutuskan untuk menemani sahabatnya itu walapun Ray menyuruhnya untuk pulang.

Persis satu ketika pukul 01.00, ponsel Russel berdering.

Sebuah panggilan masuk dari Retha.

Ada apa?

Meskipun mereka bersahabat, Retha termasuk orang yang jarang sekali menghubunginya secara pribadi, bahkan nyaris tidak pernah dalam satu tahun terakhir.

Dering ponsel itu juga menarik perhatian Ray yang masih terjaga. Ia bertanya lewat tatapannya, siapa yang menghubungi tengah malam begini. Russel tidak menjawab. Ia lebih dulu mengangkat panggilan dari Retha.

"Assalamu'alaikum, Tha. Ada apa?"

Malam itu, Retha memutuskan untuk meminta bantuan Russel.

Alzheimer merupakan penyakit yang belum ditemukan terapi penyembuhnya. Obat yang ada hanya untuk memperlambat kerusakan saraf dan mencegah progresifitas penyakit. Tapi, apapun itu, Retha akan memperjuangkan kesembuhan Liann. Ia tidak akan membiarkan Liann menyerah pada penyakitnya tanpa penanganan apapun.

Tahun-tahun itu, Jepang adalah salah satu negara dengan tenaga medis terbaik. Retha berpikir, mungkin saja Russel mengenal dokter spesialis terbaik untuk membantu Liann. Walapun keduanya tidak pernah berkomunikasi secara pribadi, Retha tahu reputasi Russel sebagai salah satu pencipta teknologi di Jepang sana. Tidak hanya teknologi fungsional dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga menciptakan alat-alat medis. Oleh karena itu, Retha percaya Russel pasti punya koneksi yang luas, termasuk dari kalangan dokter.

Itulah alasan Retha menghubungi Russel malam itu.

Setelah Retha mengakhiri ceritanya, Russel terdiam cukup lama. Ray juga hampir sama. Sedari tadi ia ikut mendengar pembicaraan. Keduanya masih tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.

"Ssel?" panggil Retha dari seberang sana.

"Soal itu, aku akan berusaha menghubungi kenalanku yang bekerja sebagai dokter, Tha. Semoga saja ada yang bersedia membantu."

Meskipun tidak terlihat, Retha mengangguk. Ia sungguh menaruh banyak harapan pada Russel.

"Apa Liann baik-baik saja?" tanya Russel.

"Saya baik-baik aja, Ssel. Santai aja. Ga usah terlalu khawatir."

Liann menjawab langsung pertanyaan itu. Sedari tadi, ia memang mendengar semua percakapan.

Russel menghela napas lega. Ia pikir Liann akan depresi karena penyakitnya.

Persis ketika panggilan itu akan ditutup, Russel tiba-tiba teringat sesuatu.

"Apakah yang lain sudah tahu soal ini?"

●●●

"Tadinya Liann ga mau aku beritahu kamu soal penyakitnya. Liann bilang dia ga ingin kita semua jadi repot karena itu. Tapi, aku pikir sebaiknya kamu juga tahu, Es. Kamu seorang dokter. Pasti lebih paham soal penyakit ini. Mungkin kamu juga bisa ikut membantu."

Essiel terdiam. Ia bahkan seolah menahan napas sejak kata alzheimer pertama kali keluar dari bibir Russel.

Seorang Liann? Laki-laki itu menderita alzheimer? Essiel sungguh tidak pernah membayangkannya.

"Jadi, bagaimana kondisi Liann? Dia baik-baik saja? Ada dokter yang bersedia membantu?" tanya Essiel beruntun.

"Liann baik-baik aja, Es. Kami sempat ngobrol sebentar. Sepertinya, dia udah lama tahu soal penyakitnya ini. Selama dua jam aku coba telfon semua kenalanku. Untungnya ada dokter spesialis saraf yang bersedia membantu. Beliau minta bertemu Liann langsung besok lusa."

"Jadi, Liann akan ke Jepang?"

"Iya. Tadi aku udah ngabarin Retha juga. Katanya, mereka akan datang."

Setelahnya hening. Tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka sampai akhirnya, 

"Ayo kita kesana juga." celetuk Burheen tiba-tiba.

Kalimat itu tidak hanya membuat Russel yang ada di seberang sana terkejut karena ia tidak tahu bahwa Burheen sedari tadi menyimak semua pembicaraan, tetapi Essiel juga kaget. Ke Jepang? Mendadak?

"Liann dalam keadaan sakit. Mungkin dia ga terlihat masalah dengan itu, tetapi pasti dia punya kekhawatiran, kan? Ga ada salahnya kita ketemu Liann dan kasih dia semangat."

Essiel terdiam. Dirinya memang tidak masalah dengan itu. Toh, saat ini ia juga sedang dalam masa cuti. Tapi bagaimana dengan Burheen? Alya? C? Evrena?

"Saya bakal coba ngajuin cuti besok. Harusnya ga ada masalah karena tugas kami baru saja selesai. Evrena seharusnya juga ga ada penerbangan lagi minggu ini. Alya lagi mempersiapkan UKMPPD, dia bisa belajar dimana aja. Lagipula ini ga bakalan lama. C ga usah ditanya. Dia bisa pergi kapan aja."

Essiel mengangguk. Semua penjelasan Burheen terdengar masuk akal.

Tetapi, penerbangan mendadak begini? Bagaimana dengan tiket...

Pikiran Essiel lebih dulu terhenti saat Burheen kembali bicara.

"Kamu ga lupa kalau Evrena punya jet pribadi, kan?"

-lw-

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang