BAB 9 | Sepasang Cinta Halal (1)

96 9 5
                                    

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah."

-Q.S Az-zariyat : 49

---

"Sayaaang" teriak Irene sambil melangkah menuju ruang kerja yang terletak di sudut kamar apartmennya.

Ketika Irene membuka pintu ruangan itu, terlihat Smeck sedang fokus di depan laptopnya. Kacamata yang jarang Smeck gunakan bahkan kini bertengger di atas hidungnya. Hal yang menandakan bahwa Smeck sedang konsentrasi penuh.

"Kamu jadi nganterin aku ga sih?" tanya Irene dengan ekspresi cemberut.

Siang ini, Irene ingin pergi ke kampus untuk mengurus suatu berkas terkait kepindahan magangnya ke rumah sakit yang baru. Berkas itu harus ia dapatkan hari ini juga. Irene bahkan sudah siap dengan gamis dan khimar syar'i nya. Namun, Smeck yang tadinya sudah berjanji akan mengantar malah masih sibuk dengan tulisannya.

"Iya, Sayang. Tunggu sebentar yah."

Bukannya langsung mematikan laptop, Smeck masih lanjut mengetik sehingga membuat amarah Irene memuncak. Kesal tidak ditanggapi, Irene akhirnya menutup pintu dengan keras. Ia memutuskan pergi sendiri. Bodoh amat dengan Smeck yang sibuk dengan karyanya yang luar biasa hebat itu.

Setelah mengambil tas nya yang ada di kamar, Irene keluar dan sengaja menghempaskan pintu apartemen supaya Smeck sadar kalau dia sudah pergi.

Benar saja. Persis ketika bunyi hempasan pintu itu terdengar, Smeck menghela napas. Ia melepaskan kacamatanya. Menekan tombol ctrl dan s sekaligus di keyboard laptop untuk menyimpan karya yang sedang ia kerjakan. Editor memang sedang mendesaknya supaya mengirimkan karyanya sore ini, tetapi mood Irene jelas jauh lebih penting. Akan sulit sekali membujuk Irene jika gadis itu sudah ngambek dan tidak mau bicara.

Smeck memacu moge hitamnya dari basement apartemen. Ia yakin bahwa Irene belum pergi jauh. Jika hanya berjalan kaki, pasti gadis itu masih ada di sekitaran sini.

Tebakan Smeck sama sekali tidak meleset. Ia langsung bisa melihat Irene yang sedang berjalan sambil sesekali menghentakkan kakinya pertanda kesal. Aduh, kalau begitu Irene jadi terlihat lucu di matanya.

Smeck menepikan motornya untuk menghentikan langkah Irene. Setelahnya, Smeck turun dan melepaskan helm fullface yang ia kenakan.

"Ayo, Mas antar."

"Ga perlu. Terusin aja nulis karya kamu yang keren banget itu. Aku bisa pergi sendiri." tolak Irene kesal seraya ingin melangkah pergi

Namun, Smeck sigap menahan sebelah lengan Irene. Ia kemudian menangkup kedua pipi gadis itu sehingga mereka berdua bertatapan.

"Udah dong, sayang. Jangan ngambek ya. Kamu kan tahu, naskah Mas mau ditagih sore ini."

"Tapi kan kamu udah janji mau ngantarin aku."

Irene mengucapkan kalimat itu dengan mata yang berkaca-kaca. Jelas, Irene sama sekali bukan tipikal yang bisa marah. Sebaliknya, jika gadis itu marah atau kesal seperti saat ini, bawaannya ia ingin menangis.

"Iya, sayang. Mas minta maaf, ya." bujuk Smeck sekali lagi sambil memberikan kecupan singkat di kedua mata Irene.

Akhirnya Irene luluh. Ia menganggukkan kepala pertanda menerima permintaan maaf dari Smeck.

Setelahnya, Irene naik ke atas motor. Smeck pun mengenakan helm dan menarik pedal gas untuk memacu motornya di tengah kepadatan jalan raya Kota London.

Jarak apartemen mereka dengan kampus Irene sebenarnya cukup jauh dan memakan waktu. Oleh karena itu, sekarang Irene butuh di antar kemana-mana. Padahal, dulu sebelum magang di rumah sakit, Irene menyewa apartemen yang dekat dari kampus. Alhasil, ia bisa ke kampus dengan jalan kaki saja. Namun, semenjak magang dan kedatangan Smeck, Irene pindah ke apartemen yang lebih besar, yaitu apartemennya sekarang.

Dua puluh menit berkendara, Smeck menepikan motornya di depan gerbang kampus.

"Udah sampai, sayang."

Irene mengangguk. Ia turun dan merapikan pakaiannya sebelum kemudian pamit kepada Smeck.

"Nanti malam kamu jangan lupa jemput aku di rumah sakit, ya. Aku berangkat ke sana bareng temen-temen yang lain aja."

"Pake Mas, sayang. Udah nikah gini masih pake kamu aja."

Irene nyengir. Sulit sekali mengubah kebiasaannya itu. Padahal sejak awal menikah, Smeck sudah minta untuk dipanggil "mas".

"Maaf, Mas Suami."

Smeck mengusap kepala Irene pelan sebagai balasan permintaan maaf istrinya itu.

Di saat bersamaan, tiba-tiba saja sebuah perasaan tidak nyaman menelisik masuk ke dalam hati Smeck. Perasaan yang membuatnya khawatir tanpa sebab. Apalagi saat ia menatap Irene, perasaan itu kian menjad-jadi.

"Hmm... ke rumah sakitnya ga mau Mas antar aja?"

Irene sedikit kaget dengan pertanyaan Smeck yang tiba-tiba. Biasanya Smeck tidak masalah jika ia pergi dengan teman-temannya.

"Loh, kenapa Mas?"

"Ga tau. Tiba-tiba Mas khawatir aja sama kamu."

Jawaban itu membuat Irene tersenyum.

"Gapapa, Mas. Kan aku juga ga pergi sendiri. Mas kerjain naskah aja. Ntar ga selesai, loh."

Smeck menghela napas. Baiklah. Anggap saja itu perasaan buruk yang mendadak melintas. Pasti bukan pertanda apa-apa.

"Ya udah. Mas pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kabarin Mas, ya."

"Iya, Mas. Hati-hati."

Setelah percakapan singkat itu, Smeck memacu motornya untuk pulang. Sementara, Irene bergegas melangkah menuju administrasi kampus yang akan tutup 45 menit lagi.

-lw-


Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang