BAB 32 | Tertinggal

44 7 2
                                    

"Menjadi selalu kuat bukanlah tanggung jawab yang harus dijalani sendirian. Itulah mengapa ada punggung untuk bersandar dan tanah untuk bersujud."

---

Pelan tapi pasti, matahari beranjak ke peraduannya. Memang belum sepenuhnya tenggelam, masih menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Hal yang membuat langit berubah kemerah-merahan, pertanda senja mulai menyapa.

Dulu, menatap senja adalah hal yang menyenangkan. Meski sekejap, indahnya tetap berkesan dan seolah bisa membuat orang-orang sabar untuk menunggu senja lagi di esok hari. Namun, dalam kondisi yang seperti ini, senja adalah peringatan agar segera mencari tempat beristirahat. Jangan lupakan soal waktu maghrib yang akan masuk dalam hitungan menit. Hal yang membuat keduanya harus segera menemukan tempat yang nyaman untuk bermalam.

Sayangnya, menemukan tempat yang nyaman bukanlah hal yang mudah. Lihat. Sejauh mata memandang, yang bisa mereka temukan hanyalah mayat-mayat yang bergelimpagan, beberapa material reruntuhan, dan kendaraaan tak berbentuk akibat ditimpa pohon setinggi belasan meter. Saat hari beranjak gelap pun, mereka masih terjebak di antara semua kekacauan ini. Seolah itu adalah isyarat bahwa mereka harus puas bermalam di antara mayat-mayat lagi.

Setelah matahari sempurna menghilang, mereka akhirnya menyerah. Tanpa komando, keduanya serentak duduk di atas salah satu reruntuhan yang cukup datar. Tidak peduli apakah ada manusia tak bernyawa dibawah reruntuhan yang lumayan besar ini. Mereka hanya ingin melepas lelah setelah seharian berjalan tanpa hasil yang memuaskan.

Kejadian seperti ini, sering kali berujung memancing tangis. Bagaimana tidak? Terhitung empat hari sudah berlalu selepas bencana gempa dan tsunami. Itu artinya, selama empat hari pula mereka luntang-lantung di tempat antah-berantah. Keduanya harus merasa puas dengan minum air yang turun dari langit, menahan lapar meski lelah seharian berjalan, tetap melaksanakan shalat lima waktu meski tak terkatakan lagi kotornya pakaian yang dikenakan, dan meringkuk dalam dekapan dinginnya angin saat malam menyelimuti. Sayangnya, empat hari yang sulit ini seakan belum cukup lantaran perjuangan untuk mencari tempat pengungsian ini tak kunjung terlihat ujungnya. Belum lagi saat kilasan wajah-wajah tersayang hadir, tak dapat lagi diungkapkan betapa air mata ingin mengalir dan tersedu.

Kurang lebih, begitulah gambaran perasaan yang saat ini tengah menghantam hati salah satu dari keduanya. Sujud panjangnya dalam shalat membuat air mata itu tak terbendung lagi. Ia benar-benar memasrahkan diri pada Allah, memanggil-Nya agar mendengar setiap pinta hatinya yang mulai lelah.

Seiring dengan gerakan shalat yang terus berganti hingga berakhir dengan salam, lolos sudah isakan yang sedari tadi ditahannya dalam-dalam. Hal itu membuat sosok di sampingnya yang telah menyelesaikan shalat lebih dulu menatap iba ke arahnya.

Hitungan detik setelahnya, ia akhirnya jatuh ke pelukan sahabatnya, satu-satunya orang yang bisa menjadi sandarannya dalam arti harfiah di sini. Ia melepas tangis yang sudah dipendam berhari-hari.

"Aku capek," keluhnya di antara isakannya yang sesekali terlepas.

Sementara itu, tidak ada yang bisa dilakukan oleh gadis yang satunya. Mereka sama-sama lelah, meskipun di satu sisi amat bersyukur dengan kesempatan hidup yang masih Allah berikan.

●●●

Flashback on--

Matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur sana. Menyiramkan cahaya hangatnya pada sebagian bulatan bumi. Hal itu membuat kekacauan yang ada di pantai wilayah Tohoku terlihat jelas. Benda-benda mahal seperti mobil, motor, juga puing-puing bangunan yang terseret gelombang tsunami terlihat berserakan di sepanjang pesisir pantai. Tubuh manusia juga bergelimpangan tidak beraturan di sana, tumpang tindih dengan benda-benda tumpul dan tajam. Kebanyakan terlihat sudah tidak bernyawa, hanya satu-dua yang mungkin sedang menunggu ajal, menahan sakit lantaran terhimpit puing bangunan atau tertusuk material tajam yang entah berasal dari mana.

Namun, hal lain terjadi pada seorang perempuan yang matanya baru saja terbuka. Butuh beberapa detik baginya untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Detik berikutnya, semua rasa sakit akhirnya terasa menjalar ke seluruh tubuh. Bagian tangannya terasa lebih berdenyut dibanding yang lain. Wajar saja, sebuah puing bangunan menghimpit tangan kirinya. Meski ukuran puing itu tidak besar, dihimpit selama berjam-jam tetap saja terasa nyeri, belum lagi dengan hempasan yang terjadi selama gelombang tsunami mempermainkan tubuhnya sesuka hati.

Dengan tenaga seadanya dan sedikit dipaksakan, puing itu berhasil ia singkirkan. Tangan kirinya itu terlihat sedikit membiru. Tidak masalah. Setidaknya, Allah masih berbaik hati memberikan kesempatan padanya untuk hidup.

Setelah berhasil menegakkan tubuh, perempuan itu berjalan tertatih. Melangkah menjauh dari pesisir pantai. Mencoba untuk tidak peduli pada pemandangan yang begitu menyayat hatinya.

Ketika ia sudah melangkah lebih jauh meninggalkan pusat tsunami kemarin, mendadak ia merasakan getaran di tempat ia berpijak. Refleks, ia merendahkan tubuh, seolah tengah berlindung di bawah meja atau semacamnya dan memejamkan mata.

Getaran itu berlangsung cukup lama. Ia sama sekali tidak tahu bahwa getaran itu adalah gempa susulan yang kesekian kalinya dengan skala yang tidak terlalu besar. Kemarin, saat tsunami baru saja mulai surut, gempa susulan dengan kekuatan 8 SR kembali mengguncang. Setelahnya, ratusan gempa ikut menyusul dengan kekuatan yang menurun sedikit demi sedikit dari gempa sebelumnya.

Perempuan itu baru berani membuka mata saat getaran dari dalam bumi itu tidak lagi terasa.

Yang pertama kali dilihatnya setelah itu adalah wajah seseorang yang sudah dikenalnya bertahun-tahun. Wajah yang terlihat pucat itu membuatnya berpikiran yang tidak-tidak dalam hitungan detik. Tanpa pikir panjang ia memeriksa denyut nadi sosok itu. Cemas sekali membayangkan berbagai kemungkinan.

Denyut nadi yang terasa lemah di ujung jemarinya membuat gadis itu menghela napas lega sekaligus mengucap beribu syukur. Setelahnya, ia mencoba merangsang kesadaran sosok itu dengan memanggil namanya dan menepuknya beberapa kali. Nyaris saja gadis itu merasa kehilangan harapan saat tidak ada kemajuan dalam tiga menit sampai akhirnya sosok itu terbatuk pelan dan mengeluarkan air dari mulutnya.

Kesadarannya kembali.

●●●

Flashback off--

Lamunan tentang ingatannya itu terputus kala sosok yang ada di dalam pelukannya berteriak kaget.

Pelukan keduanya kemudian spontan terlepas. Ketika ia menoleh, betapa terkejut dirinya saat melihat seekor ular dengan panjang selengan sedang menancapkan mulutnya di salah satu kaki temannya yang tertutup rok dan kaus kaki lusuh.

Tanpa pikir panjang, ia menyingkirkan ular itu dengan tangan kosong. Sama sekali tidak sempat memikirkan resiko jika ular itu balik menyerangnya. Untunglah gerakannya sangat sigap. Ular itu berhasil ia lempar dalam hitungan detik. Dengan raut cemas bertanya,

"Kamu gapapa kan, Al?"

Alya mengangguk dengan wajah pias sambil mengusap pipinya yang masih terasa basah. Sepertinya gadis itu masih sangat terkejut dengan keberadaan ular yang entah bagaimana bisa berada di sini setelah semua bencana kemarin hari.

Sementara itu, C sigap menarik kaki Alya, menyingkap kaus kaki Alya tanpa banyak bicara. Syukurlah taring ular itu belum sempat menembus lapisan rok dan kaus kaki Alya. Mungkin Alya juga cepat menyadari keberadaan binatang melata yang satu itu. Jadilah C tidak perlu mencari penawar yang sekiranya bisa menyembuhkan gigitannya pada kaki Alya.

"Kita harus pindah. Bisa saja ada ular lain di sekitar sini." tegas C.

Alya mengangguk tanpa protes sedikitpun. Ia percaya pada intuisi C yang sudah sering keluar masuk hutan belantara. Gadis itu pasti lebih paham cara bertahan hidup di saat genting seperti ini. Dalam salah satu perjalanannya, C bahkan pernah berhasil bertahan melawan hewan buas. Jadi, tidak ada pilihan selain menyerahkan segala keputusan pada C yang lebih berpengalaman.

Maka, kedua manusia itu kembali berjalan. Menyusuri sempitnya jalan yang bisa dilewati. Melangkah di antara semua kesedihan. Mencari tempat yang lebih aman untuk bermalam di bawah langit tanpa bintang.

-lw-

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang