BAB 41 | Benvenuti in Cosa Nostra

29 3 3
                                    

"Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar."

---

Suara batuk pelan yang terdengar membuat Liann tertarik kembali ke dunia nyata. Ia refleks menoleh ke samping, terkejut bercampur lega melihat Alya telah sadar dan terbatuk-batuk pelan, seolah baru saja tersedak sesuatu.

"Alhamdulillah. Akhirnya kamu sadar Al. Kamu butuh sesuatu?"

Butuh beberapa detik bagi Alya untuk memahami situasi hingga ia akhirnya mengeluarkan kalimat pertamanya.

"Kamu gapapa? Orang-orang serba hitam itu ga ngelukain kamu kan?"

Kalimat Alya menandakan bahwa ia bisa mengingat kejadian malam itu dengan jelas. Namun, bukan hal tersebut yang membuat Liann tertegun sejenak, melainkan pertanyaan yang ia lontarkan. Gadis di hadapannya ini, bagaimana bisa mengkhawatirkan orang lain di saat seharusnya dirinyalah yang harus dikhawatirkan.

"Yan? Are you okay?"

Pertanyaan kedua dari Alya akhirnya mampu dijawab Liann dengan anggukan. Laki-laki yang biasanya sedikit cuek itu kini melemparkan senyum tipisnya sebagai bukti nyata bahwa ia cukup baik-baik saja.

Alya menghela napas lega. Untunglah dirinya dan Liann tidak mendapat luka serius. Padahal, saat melihat Liann jatuh akibat tertembak di depan matanya, Alya pikir itu adalah akhir hidup Liann. Tentu saja juga akhir hidupnya karena setelah itu, ia jelas mendengar suara tembakan berikutnya seiring dengan sesuatu yang tiba-tiba tertancap persis di lehernya.

"Jadi, kita dimana?"

Pertanyaan yang sama dengan pertanyaan yang Liann tanyakan saat kesadaran baru menyapanya.

"Exactly, saya ga tau. Pesawat mungkin? Atau helikopter?"

Alya mengangguk mengerti. Liann pastilah mengetahui hal itu dari luasnya langit yang dapat dilihat dari balik kaca.

"Udah berapa lama sih, Yan, sejak kejadian malam itu?" tanya Alya setelah hening beberapa menit.

Sebagai jawaban, Liann mengangkat bahunya.

"Kenapa? Kamu haus?" tanya Liann seolah mengalihkan pembicaraan.

Namun, sebenarnya pertanyaan itu wajar saja Liann tanyakan. Lihatlah, Alya terlihat sedikit pucat. Bibir gadis itu pecah-pecah dan kering. Siapapun tahu bahwa Alya mungkin akan dehidrasi, meski tak munafik ia juga merasakan hal yang sama.

Tak ingin terlihat sedih, Alya tersenyum, hampir mirip cengiran.

"Kelihatan banget, ya?"

Liann mengangguk. Ia iseng menunjuk bibir Alya yang tentu saja membuat pipi gadis itu bersemu merah.

Suasana yang terkesan lebih baik itu tidak bertahan lama karena benda terbang yang mereka naiki kini terasa sedang menukik ke bawah, seolah ingin mendarat. Pergerakan tanpa aba-aba ini sebenarnya tidak akan berpengaruh jika mereka duduk dengan baik di kursi penumpang dilengkapi seat belt yang terpasang aman. Namun, dengan kondisi duduk di lantai tanpa seat belt atau semacamnya, jadilah tubuh Alya dan Liann ikut berguling mengikuti gerakan benda terbang yang sepertinya adalah pesawat.

Tubuh Liann dalam hitungan detik terbanting ke pembatas ruangan yang terbuat dari kaca. Belum genap ia memposisikan diri dengan baik, tubuh Alya menyusul menghantam dirinya, membuat punggung Liann sedikit berdenyut nyeri. Dan entah ada apa dengan benda terbang yang satu ini, gerakan menukiknya semakin tajam ke bawah, bahkan sesekali terasa bermanuver. Kombinasi itu mau tak mau memaksa Liann menahan tubuh Alya dengan kedua tangannya agar gadis itu tak terbanting ke sana kemari.

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang