BAB 23 | Penerbangan

51 7 17
                                    

Pukul 05.00

Mobil yang dikendarai C melesat cepat di jalan raya. Sepagi ini lalu lintas masih terhitung sepi. Tentu saja. Jam segini masih terlalu pagi untuk pergi kerja atau rutinitas lain. Alhasil, mobil yang dikendarai C bisa melaju menuju bandara tanpa ada drama macet atau yang lainnya.

Di samping C, Alya sibuk dengan catatannya. Walaupun telah menyelesaikan tugas sebagai dokter muda, Alya harus mengikuti ujian UKMPPD bulan depan untuk mendapatkan gelar dokternya. Ia harus bisa mengingat semua materi kuliahnya selama kurang lebih lima tahun. Alhasil, setiap ada kesempatan, Alya selalu belajar. Meskipun begitu, ia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bertemu Liann. Sejak ia mengetahui bahwa laki-laki itu sakit, Alya berpikir setidaknya ia bisa memberikan support walaupun tidak bisa membantu banyak.

Di kursi belakang, ada Essiel dan Evrena yang sama sekali tidak saling bicara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Menatap keluar, mengamati kendaraan yang berlalu-lalang. Kali ini, suasana di dalam mobil lengang.

Mobil itu merapat ke parkiran inap bandara bersamaan dengan sebuah sepeda motor berwarna hitam. Itu adalah Burheen. Laki-laki itu memang berangkat secara terpisah. Sejak kemarin, ia meninggalkan rumah Alya, pergi ke markas untuk mengurus cutinya yang cukup mendadak.

Kelimanya melangkah menuju apron alias tempat parkiran pesawat. Di sana, jet pribadi Evrena telah menunggu, sekaligus dengan pilotnya. Harusnya Evrena bisa membawa jet itu sendiri, tetapi mengingat dalam minggu ini ia sudah terbang selama 30 jam, gadis itu memutuskan untuk membawa pilot dan co-pilot yang telah disewa ayahnya untuk penerbangan kali ini.

Ini adalah kali pertama C, Alya, Essiel dan Burheen menaiki jet pribadi Evrena. Meskipun keempatnya sudah tahu bahwa gadis itu mendapatkan jet pribadi sebagai kado ulang tahunnya, mereka sama sekali belum berkesempatan menaikinya lantaran kesibukan masing-masing.

Persis ketika kelimanya melangkah masuk, C, Alya, Essiel, dan Burheen langsung terpesona. Bagaimana tidak, jet pribadi jenis Embraer Legacy 600 ini tidak hanya punya kursi penumpang seperti pesawat pada umumnya. Di dalamnya ada sofa untuk bersantai, bahkan dapur dan ruang makan yang nyaman. Kursi penumpangnya pun bisa diatur sesuka hati. Benar-benar pesawat yang mungkin tidak akan pernah mereka naiki seumur hidup jika harus membayar.

Pesawat jet itu segera take-off.

Kelimanya memutuskan untuk berkumpul di sofa. Evrena mengeluarkan beberapa camilan yang ada di dapur. Mereka bisa menghabiskan waktu dengan berbincang selama penerbangan yang berdurasi kira-kira 7 jam 30 menit.

●●●

Kelima orang itu tengah menyantap makanan di ruang makan. Mereka hampir tiba di Tokyo. Lima belas menit lagi, pesawat ini akan mendarat.

Saat tengah santai menghabiskan porsi makanan di piring masing-masing yang tersisa sedikit, pesawat tiba-tiba saja limbung beberapa detik. Membuat kelimanya kaget dan saling tatap. Bertanya-tanya satu sama lain.

Evrena langsung berdiri. Melangkah khawatir menuju ruang kokpit.

Pintu yang membatasi antara kabin dan ruang kokpit terbuka. Evrena melangkah masuk. Gurat khawatir masih tergambar di wajahnya dengan jelas. Ia bergegas mendekat kepada pilot dan co pilot yang sibuk mengendalikan pesawat. Bertanya singkat,

"Ada apa?"

"Panggilan dengan menara pengawas terputus, Ev."

Kalimat itu berhasil membuat detak jantung Evrena jauh lebih cepat. Kecemasan meliputi perasaannya. Jika panggilan terputus, itu artinya ada sesuatu yang terjadi di bawah sana.

"Kami akan mencoba sekali lagi, Ev."

Dua kali percobaan hingga panggilan terhubung. Kali ini, baik pilot, co pilot, maupun Evrena bisa mendengar dengan jelas kericuhan lewat telepon. Teriakan-teriakan dan kegaduhan yang terasa sangat nyata.

"Earthquake...earthquake. Keep flying."

Sambungan kembali terputus. Transporder pesawat tidak lagi berkedip. Mereka telah kehilangan kontak dengan menara pengawas.

Ketiganya pucat pasi.

Gempa bumi katanya?

Ya. Mereka tidak tahu bahwa persis saat mereka ingin menghubungi pihak Bandara, Jepang diguncang gempa terbesar yang pernah ada di sepanjang sejarah negara itu. Gempa berkekuatan 9.0 SR yang meluluh-lantakkan Tohoku yang menjadi episentrum wilayah. Jangankan wilayah Tohoku yang hanya berjarak 81 mil dari Samudera Pasifik bagian barat sebagai episentrum yang sebenarnya, Tokyo yang berjarak lumayan jauh pun harus menghentikan seluruh jadwal penerbangan. Sebuah kilang minyak beberapa menit setelahnya bahkan ikut terbakar. Sebuah kondisi yang bagaimanapun membuat mereka tidak bisa mendarat saat itu.

"Apakah kita bisa mendarat? tanya Evrena yang akhirnya menyuarakan kecemasannya.

Hening hingga akhirnya pilot itu dengan berat hati menggelengkan kepala.

"Sepertinya tidak, kecuali jika kami menemukan landasan lain."

●●●

Evrena dengan raut wajah tak terbaca kembali ke kabin, atau lebih tepatnya ruang makan. Ia patah-patah menjelaskan apa yang terjadi. Membuat semua yang melingkari meja makan itu terdiam. Kehilangan kata-kata.

Apa semuanya akan berakhir di sini?

●●●

"Tidak ada lahan untuk mendarat, Capt!" lirih pemuda tanggung itu kesekian kalinya pada laki-laki setengah abad di sampingnya.

Ruang kokpit itu kembali lengang. Hanya menyisakan desah nafas tertahan yang menggantung di langit-langit pesawat. Sementara tangan-tangan dua manusia itu tetap bekerja. Mencari solusi untuk menyelamatkan nyawa-nyawa orang yang ada di kabin pesawat.

Keheningan itu berakhir saat seseorang masuk melangkah ke dalam ruang kokpit. Langkahnya jelas terdengar gusar dan semakin mendekat.

"Apa kalian sudah menemukannya?" tanyanya dengan intonasi tak terkendali.

Kedua manusia itu menggeleng sebagai jawaban.

Mereka sudah sibuk berputar-putar sedari tadi. Sayangnya, sama sekali tidak ada tempat untuk mendarat. Semua tempat penuh dengan reruntuhan bangunan dan tidak satupun bandara yang bisa mereka hubungi.

Mendengar jawaban putus asa itu, tak ayal membuat Evrena mengusap wajahnya kebas. Ya Allah, apa yang harus dia lakukan?

Tiba-tiba suara monitor mesin mengalihkan perhatian ketiganya.

"Apa yang terjadi?" tanya Evrena dengan suara bergetar.

Namun, tak satupun dari pilot maupun co pilot itu yang menjawab pertanyaannya. Tangan mereka masih lincah menari di atas panel-panel yang tak diketahuinya. Mencari sebab mengapa bunyi lengkingan itu terjadi.

Hitungan menit, wajah laki-laki setengah abad itu berubah pucat. Fakta yang ia temukan adalah hal terburuk yang dapat terjadi di atas udara seperti ini.

"Ada apa?" tanya Evrena dengan nada mendesak.

"Kita kehabisan bahan bakar,Ev. Kita harus segera mendarat atau kita akan jatuh bebas dari ketinggian dua puluh tujuh ribu kaki ini."

Itu kabar buruk yang benar-benar serius. Evrena terpaksa harus menyimpan idenya agar mereka melanjutkan penerbangan ke negara tetangga atau kemanapun untuk mendarat.

Lagi, Evrena mengusap wajahnya kebas. Walau ia tidak ingin, tetapi tatapan kedua orang dihadapannya membuatnya harus mengambil keputusan dalam waktu singkat. Ia harus memilih antara mendarat di atas reruntuhan bangunan dengan resiko sebagian badan pesawat hancur atau jatuh mendadak di atas laut yang siap membuat mereka meregang nyawa di dalamnya. Meski tentu saja, keputusan apapun yang ia ambil, itu tetap akan mempertaruhkan nyawa sahabat-sahabatnya.

Baiklah. Tidak ada pilihan.

Memantapkan hati, Evrena tiba-tiba meminta pilot itu bangkit dari posisinya. Ia segera memegang kendali pesawat lantas berucap mantap,

"Biar aku yang bertanggung jawab terhadap penerbangan ini sampai akhir."

-lw-

Say hello to our big konflik

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang