BAB 25 | Ancaman Maut

50 7 10
                                    

Keringat mengucur deras di pelipis Evrena. Napasnya menderu tak beraturan. Susah payah ia mencoba bangkit dari kursi pilot. Pendaratan barusan adalah pendaratan yang paling mengerikan yang pernah ia lakukan seumur hidup.

Pilot dan co pilot sudah bangkit sendiri. Mereka mencoba menetralisir wajah pucat masing-masing meski tentu saja gagal. Ketiganya bergegas menuju kabin untuk melihat kondisi yang lain setelah pendaratan Evrena yang bisa dibilang berhasil.

Kondisi kabin juga terlihat kacau. Bukan soal fasilitas yang sedikit lecet atau beberapa benda yang berantakan di lantai kabin. Melainkan, keadaan keempat orang di sana yang juga terhempas dalam posisi tak beraturan.

Saling membantu, Essiel, C, Burheen, dan Alya akhirnya bisa berdiri meski dengan kepala yang masih pusing. Mereka serempak melangkah ke arah pintu kabin. Dengan sisa kekuatannya, Burheen menendang pintu itu, sehingga membuatnya jatuh ke tanah. Ya, akibat pendaratan tadi, nyaris sebagian badan pesawat rusak dan hampir lepas. Pintu masuk kabin adalah salah satunya.

Keluarnya mereka dari kabin disambut oleh udara Negara Sakura yang cukup sejuk lantaran tengah musim semi. Namun, semilir angin yang menyegarkan itu tak mampu membuat mereka menghela napas lega. Sebaliknya, detang jantung kelimanya termasuk pilot dan co pilot itu masih bertalu-talu setelah setelah tadi melalui detik-detik yang begitu menegangkan.

Sayangnya, mereka salah. Kondisi tadi bukan yang terburuk. Bahkan, mereka seharusnya tidak pernah mendarat persis di tepi daratan Tohoku yang berbatasan langsung dengan Semenanjung Oshika. Itu artinya, mereka sama saja menjemput bencana yang sebentar lagi menyapa. Namun, jatuh dari ketinggian 27.000 kaki dan mendarat di atas reruntuhan bangunan juga bukan merupakan pilihan yang bagus. Entah mana yang lebih baik di antara keduanya.

Hitungan detik kemudian, tiba-tiba saja mereka dikagetkan dengan sirene yang cukup kencang. Itu adalah sirene peringatan tsunami. Astaga! Sirene itu dibunyikan berkali-kali, menandakan seberapa serius peringatan itu kali ini.

"Kita harus lari!" ucap Burheen singkat. Awalnya, tidak ada yang mengerti. Mereka bingung dan saling bertatapan satu-sama lain. Namun, untunglah kesadaran itu cepat datang. Burheen benar. Mereka tidak tahu dimanakah tsunami itu akan muncul. Bisa jadi di Semenanjung Oshika yang kini ada di hadapan mereka, bisa jadi tidak. Yang jelas, mereka harus menjauh dari segala sesuatu yang berbau laut sekarang.

Tanpa dikomando, mereka serempak berlari menjauh. Meninggalkan laut di belakang mereka. Berharap kekuatan kaki mereka mampu diandalkan dan kali ini Allah akan berbaik hati.

●●●

Russel buru-buru keluar dari mobil. Ia masuk ke dalam sebuah gedung yang sudah hancur sebagiannya. Ray mengikuti dari belakang. Lebih mencoba waspada. Takut jika tiba-tiba gedung ini roboh sempurna dan menimpa atau semacamnya.

Langkah Russel dicegat sebelum ia masuk ke dalam ruangan yang ia tuju. Seseorang mencegahnya, mengatakan bahwa seluruh penduduk dilarang masuk ke dalam gedung.

Beberapa orang berlalu-lalang. Satu-dua masih keluar dengan berjalan tertatih meski sedikit berantakan. Sebagian terlihat menyedihkan karena harus dipapah akibat tidak sadarkan diri. Yang lainnya malah lebih miris karena ada beberapa luka berdarah di wajah atau bagian tubuh lainnya akibat tertimpa reruntuhan.

Russel berusaha menjelaskan maksud kedatangannya pada orang di hadapannya. Namun, orang itu tetap menggeleng. Tidak memberi izin. Resikonya terlalu besar, mengingat gempa tadi memiliki kekuatan yang cukup besar sehingga sanagat memungkinkan terjadinya gempa susulan.

Beberapa menit bersitegang, Russel akhirnya diperbolehkan setelah Ray ikut membujuk. Keduanya diberi waktu dua puluh menit. Russel mengangguk setuju, bergegas menuju ruangan tempat disimpannya teknologi bertenaga nuklir itu.

Russel sungguh bersyukur teknologi itu masih utuh, termasuk penyimpanan nuklirnya. Teknologi yang berukuran cukup besar itu memang memerlukan banyak orang untuk bisa memindahkannya. Karena itu, Ray mencoba mencari bantuan, sementara Russel tetap ada di sana. Memeriksa apakah ada kerusakan.

Tak lama setelahnya, Ray kembali bersama tujuh orang sekaligus. Mereka bekerja sama untuk memindahkan teknologi itu menuju sebuah mobil yang sudah menunggu dan terparkirdi depan gedung. Sepertinya, atasan Russel yang mengirim mobil itu. Entahlah, Russel tak ingin berpikir lebih lanjut.

Persis ketika teknologi itu berhasil diposisikan dengan baik di atas mobil yang dimaksud, sebuah ledakan terdengar cukup besar dari arah barat. Bersamaan dengannya, terlihat api membakar sebuah bangunan yang terlihat seperti pabrik. Memberi cahaya terang yang menakutkan di tengah pemadaman listrik otomatis akibat gempa. Sayangnya, cahaya yang berasal dari api itu sama sekali tidak memberi kelegaan, sebaliknya, malah terlihat sangat menakutkan karena akan menimbulkan bencana lainnya.

Russel tahu gedung apa yang kini tengah dilalap api. Bukan pabrik, melainkan kilang minyak milik Cosmo Oil Company. Russel pernah kesana beberapa kali. Sebagai ilmuan yang menciptakan cukup banyak teknologi, Russel hampir sudah berkunjung ke setiap gedung penting di Jepang, karena gedung itu rata-rata menggunakan teknologi buatan profesornya atau dirinya dan teman-temannya.

Baru saja dikejutkan dengan ledakan dan kebakaran kilang minyak Cosmo Oil Company, Russel sudah harus dikejutkan lagi dengan sirene yang terdengar kencang dan berkali-kali. Membuatnya terdiam sebentar sebelum akhirnya menelan saliva lamat-lamat. Sirene itu pertanda serius sekali. Sirene peringatan tsunami karena gempa 9.0 SR yang baru saja terjadi.

Tanpa pikir panjang, Russel bergegas masuk ke dalam mobil. Ray tanpa banyak bertanya mengikuti. Mereka hendak pergi ke daerah yang lebih aman. Namun, mereka salah. Dalam kasus ini, benar-benar tidak ada daerah yang aman. Bahkan, negara selain Jepang pun harus terkena imbasnya. Hanya mereka yang disentuh keajaiban yang memiliki kesempatan.

●●●

Untuk kesekian kalinya, Essiel terjatuh. C tanpa banyak bicara kembali mengulurkan tangan. Di sampingnya, Burheen menunggu keduanya untuk kembali berlari. Sementara, yang lain masih memaksa kaki masing-masing untuk melangkah. Sesekali melihat ke arah Essiel yang sudah menyusul di belakang.

Sungguh sayang, dalam kasus mereka, berlari sejauh apapun tidak akan berarti banyak. Tsunami itu akan menyapu seluruh Jepang. Bagaimanalah mereka bisa berlindung.

Air mulai menggulung-gulung. Semakin lama, gulungan itu semakin besar. Menciptakan gelombang terbesar dengan kekuatan dahsyat dalam hitungan detik. Hingga tanpa peringatan lebih lanjut, tsunami setinggi 10 meter menyapa dengan ancaman maut-nya.

15.000 penduduk lenyap dalam hitungan detik. Infrastruktur dan bangunan tinggal puing-puing. Kendaraan terombang-ambing dipermainkan gelombang air. Dari Indonesia hingga Hawaii dan Amerika harus mengecap sedikit-banyak akibatnya.

Sekali lagi, dalam kasus ini, hanya mereka yang disentuh keajaiban yang masih memiliki kesempatan.

-lw-

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang