BAB 28 | Pengungsian

51 9 6
                                    

"Semua yang terjadi sekarang adalah takdir Allah. Kita ga pantas menyalahkan keadaan. Berandai-andai hanya membuktikan kita tidak mempercayai Allah."

---

Ketimbang prefektur Miyagi dan Fukushima yang "hancur" dan nyaris tak bersisa karena termasuk wilayah Tohoku, wilayah yang berada sangat dekat dengan Semenanjung Oshika, pusat tsunami, keadaan Prefektur Chiba setidaknya lebih baik. Tiga hari pasca gempa dan tsunami mengerikan kemarin, mereka sudah bisa menggerakkan berbagai upaya untuk mengevakuasi penduduk. Seluruh penduduk yang ada di prefektur tersebut dievakuasi ke tempat yang sekiranya lebih aman.

Pagi ini, semua penduduk diarahkan ke tempat pengungsian. Pemerintah memang masih kesulitan terkait masalah transportasi, komunikasi, dan persediaan makanan atau sarana lainnya. Namun, setidaknya pemerintah sudah berusaha untuk menyelamatkan penduduk yang tersisa.

Lagi, dua dari tokoh cerita ini termasuk mereka yang tersentuh oleh keajaiban. Bahkan kondisi mereka jauh lebih baik dari Essiel, Burheen, ataupun Evrena. Tidak ada cedera yang serius. Hanya ketakutan akan gempa susulan yang masih membayangi.

Keduanya tengah antri bersama penduduk setempat ataupun pengunjung yang selamat untuk menjalani proses evakuasi setelah terlantar selama kurang lebih 48 jam. Mereka saling mengawasi keberadaan masing-masing, seolah takut sekali terpisah.

Beberapa mobil yang kali ini digunakan sebagai transportasi untuk mengevakuasi penduduk mulai bergerak. Ada kurang lebih dua puluh mobil yang dikerahkan. Mobil mirip van itu masing-masingnya berisi sekitar 15 orang termasuk pengemudi. Ibarat konvoi, dua puluh kendaraan itu bergerak beriringan. Melaju dengan kecepatan sedang di jalanan yang sunyi dan penuh kerusakan.

Untuk pertama kalinya dalam 48 jam terakhir, Russel menghela napas lega. Ia menatap Ray yang duduk persis di sebelahnya. Meski sedikit canggung karena ini adalah kali pertama keduanya duduk tanpa jarak sama sekali, Russel berusaha tidak memedulikannya. Sebaliknya, Russel sebetulnya diam-diam bersyukur ada seseorang yang bisa jadi tempatnya bergantung di tengah situasi pelik ini. Seharian kemarin saja, Russel sibuk memegangi ujung baju yang dikenakan Ray. Ia khawatir sekali terpisah dari laki-laki itu. Gempa dan serentetan bencana kemarin membuatnya ketakutan setengah mati untuk menghadapinya sendirian.

Mengalihkan pandangan, Russel menatap ke arah luar lewat jendela. Beberapa bangunan sudah hancur, tersisa puing-puingnya. Beberapa lagi lebih baik, setengahnya masih berdiri. Di antara reruntuhan itu, terlihat beberapa orang yang melangkah pelan. Tertatih. Pemandangan yang membuat Russel menghela napas sedih.

Tak diduga, mereka tiba-tiba saja berpapasan dengan mobil pemadam kebakaran. Bukan hanya satu, melainkan banyak sekali. Russel tak sempat menghitung jumlahnya secara pasti. Hanya melihat mobil-mobil itu lewat dengan kecepatan sedang.

Hitungan menit yang cukup lama, mobil-mobil yang membawa penduduk itu berhenti. Rupanya mereka di bawa ke Tokyo. Meski sama-sama berada di wilayah Kanto, Tokyo rupanya tidak mengalami kerusakan yang terlalu parah ketimbang Chiba. Beberapa bangunan tahan gempa yang masih berdiri langsung difungsikan sebagai tempat pengungsian. Terlihat beberapa pegawai pemerintahan siap sedia di pintu depan. Mengenakan pakaian tebal mengingat udara yang cukup dingin.

Para penduduk diminta turun dan berbaris antri untuk masuk ke dalam tempat pengungsian. Persis di depan pintu, pegawai pemerintahan itu memberikan pakaian tebal yang diambilnya dari dalam kardus bagi yang belum mengenakan. Lantas membiarkan penduduk mencari tempat yang nyaman. Beristirahat setelah hari yang sangat berat.

Di dalam tempat pengungsian itu, rombongan Russel dan Ray bukanlah yang pertama kali berada di sana. Penduduk Tokyo yang takut berada di rumah mereka, tentu sudah lebih dulu mengungsi. Terlihat dari cukup banyaknya orang yang tidur dengan wajah lelah beralaskan karpet tipis.

Akhirnya, Russel memilih posisi di paling sudut yang masih kosong. Ia tidak nyaman bercampur dengan banyak orang yang tidak terlalu dikenalnya. Ray yang tak punya banyak pilihan juga mengambil tempat persis di samping Russel. Walaupun tidak mengucapkan apa-apa, Ray sepertinya berusaha untuk selalu di samping Russel, menjaga gadis itu, memastikannya tetap aman.

Entah berapa lamanya, baik Ray maupun Russel, keduanya hanya diam, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Sesekali melihat rombongan penduduk yang baru saja datang. Memilih posisi yang sekiranya tepat. Sama seperti yang mereka lakukan beberapa menit yang lalu.

Tiba-tiba saja, Russel teringat pada Liann dan Retha. Apakah kedua temannya itu selamat? Bukankah Bandara Narita tidak mengalami kerusakan yang begitu parah? Apakah mereka juga sedang mengungsi seperti dirinya?

Russel kemudian menerawang. Andaikan Liann dan Retha tidak datang ke Jepang kemarin, pastilah keduanya tidak akan mengalami hari yang buruk seperti dirinya. Juga Ray yang harusnya tetap ada di bandara. Russel sungguh menyesali keputusannya untuk mengiyakan permintaan Ray tempo hari. Jika saja Ray tidak mengikutinya ke Chiba, maka laki-laki itu mungkin bisa bertemu dengan Liann dan Retha dengan kondisi lebih baik.

Diam-diam, Russel menatap Ray yang tengah menatap fokus ke arah lantai yang tertutup karpet. Bukan, ia bukan tengah mengagumi wajah laki-laki yang diam-diam ia sayangi itu, melainkan menatap sedih pada beberapa luka yang ada di wajah Ray.

Sebenarnya, saat di terjadi tsunami, mereka panik sekali, sama seperti yang lain. Keduanya bahkan sempat terpisah sebentar. Ray yang bingung mencari keberadaan Russel tiba-tiba saja dihantam oleh puing-puing bangunan berukuran kecil yang mendadak jatuh. Beruntung Ray tidak mendapatkan luka parah karena insiden itu. Mereka bertemu lagi di salah satu jalur evakuasi saat Russel hampir saja menangis karena kehilangan Ray. Alasan itulah yang membuat Russel terus memegangi ujung baju Ray karena ia takut mereka kembali terpisah.

"Ga boleh berandai-andai, Ssel."

Teguran ringan dari bibir Ray itu membuat Russel sadar bahwa Ray tahu sejak tadi ia menatap ke arahnya.

"Semua yang terjadi sekarang adalah takdir Allah. Kita ga pantas menyalahkan keadaan. Berandai-andai hanya membuktikan kita tidak mempercayai Allah."

Russel diam sekaligus membenarkan ucapan Ray dalam hatinya. Seharusnya ia tidak boleh berandai-andai seperti itu. Yang pantas ia lakukan sekarang adalah bersyukur karena Allah masih memberinya kesempatan hidup. Juga lebih bijak dalam membaca "pesan" yang akan Allah sampaikan padanya lewat bencana ini.

"Luka kamu masih sakit?" tanya Russel mengalihkan pembicaraan.

"Sedikit. Kamu gimana? Ada yang luka juga?"

Russel menggeleng, tetapi diam-diam tersenyum. Entahlah. Pertanyaan barusan membuat hatinya sedikit menghangat.

"Kira-kira, Liann dan Retha selamat, ga, Ray?"

Pertanyaan itu, belum lagi Ray menjawabnya, seseorang sudah lebih dulu memanggil nama keduanya. Membuat Russel dan Ray kompak menoleh. Terkejut mendapati keberadaan orang itu di hadapan mereka.

"Liann?"

Benar-benar kejutan! Russel hampir saja menangis melihat senyum Liann di hadapannya. Ray juga tak jauh berbeda. Ia langsung bangkit. Memeluk Liann sebentar kemudian mengajaknya duduk.

"Gimana ceritanya kamu bisa selamat?" tanya Russel sedikit antusias. Tentu saja. Ini adalah kabar bahagia pertama yang ia terima sejak semua kejadian tempo hari.

Liann yang memang dasarnya tidak suka terlalu banyak bicara hanya bercerita sedikit. Tidak terlalu detail, namun masih bisa dipahami.

Sejenak, Russel dan Ray bahagia dengan keberadaan Liann di antara mereka, hingga mereka lupa bahwa sebenarnya ada satu hal lagi yang perlu mereka pertanyakan.

"Dimana Retha?"

Russel lah yang pertama kali menanyakannya karena Retha tak kunjung terlihat.

Wajah Liann yang tadinya cukup bahagia, kini berubah sedih. Rasa bersalahnya kembali meningkat setelah mendengar nama Retha dari bibir Russel.

"Saya ga bisa nemuin Retha. Dia hilang karena saya alzheimer."

Hening. Baik Ray ataupun Russel sama sekali tidak tahu harus merespon seperti apa.

Sayangnya, Liann keliru. Laki-laki itu sama sekali tidak perlu merasa bersalah. Alzheimer yang dideritanya sama sekali tidak berperan dalam hal ini. Mereka tidak akan tahu penyebabnya hingga berbulan-bulan ke depan.

Sejak hari itu, Retha sempurna menghilang.

-lw-

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang