BAB 24 | Narita

52 9 8
                                    

Pelataran bandara terlihat cukup lengang. Tidak banyak orang yang hilir mudik mengejar penerbangan. Hanya beberapa orang yang mungkin memiliki urusan mendadak sehingga memilih penerbangan sepagi ini. Retha dan Liann adalah dua di antaranya. Keduanya melangkah cepat seraya menarik koper masing-masing. Penerbangan mereka dijadwalkan satu jam lagi. Itu artinya, Retha dan Liann harus segera check-in sekarang.

Liann awalnya tidak setuju dengan Retha. Ia hanya berpikir akan menerima keberadaan penyakit ini apa adanya. Toh, tidak ada obat yang benar-benar menyembuhkannya, kan. Lagipula penyakit ini tidak menyiksa secara fisik, hanya membuatnya kehilangan ingatan, meskipun itu artinya ia juga bisa kehilangan kenangan-kenangan berharga seumur hidupnya. Namun, setelah dibujuk berkali-kali dengan berbagai alasan, Liann akhirnya menyerah. Ia mengikuti keinginan Retha untuk berusaha sembuh, termasuk dengan menemui kenalan Russel yang merupakan seorang dokter spesialis saraf.

Akibat janji temu hari ini, seharian kemarin, Liann sibuk sekali. Ia menghubungi salah seorang teman yang dapat dipercaya untuk mengelola perusahaan selama ia tidak ada. Retha tidak jauh berbeda. Ia juga mengurus izin cutinya pada rumah sakit. Meski punya urusan di tempat berbeda, Retha tidak pernah meninggalkan Liann sendirian. Ia benar-benar memastikan Liann ada di bawah pengawasannya dan dalam keadaan baik-baik saja.

Retha bukannya overprotective. Ia melakukannya dengan alasan tertentu. Bukan hanya karena penyakit Liann, melainkan karena dua orang laki-laki yang ia temui di kantor Liann tempo hari terus mengikuti sahabatnya itu.

Saat Retha ke rumah sakit akibat Liann kecelakaan, ia bisa menangkap keberadaan mobil chovrolet suburban di halaman rumah sakit. Kemarin, saat mereka berada di kantor Liann dan bertolak menuju rumah sakit tempat Retha bekerja, suburban itu terus mengikuti mereka. Liann memang tidak menyadarinya karena dua orang itu terlatih. Mereka sesekali membaur. Apalagi mobil itu tidak mencolok, biasa saja. Tetapi Retha mengingat setiap detilnya, termasuk nomor plat mobil berwarna hitam itu. Bahkan, hari ini, saat keduanya berangkat dengan kecepatan penuh dari apartemen Retha menuju bandara, suburban itu juga melakukan hal yang sama. Mereka terpisah jarak beberapa meter, jarak yang terkadang dekat, terkadang semakin jauh, seolah sengaja membuat gelagat seperti mobil lain yang kebetulan satu arah sehingga orang yang tidak terbiasa seperti Retha pasti tidak akan menyadarinya.

Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang mungkin tidak disadari oleh dua laki-laki itu. Persis ketika pagi menyapa, hanya beberapa jam setelah Retha mengabari kakeknya, tiga orang anggota mendarat di negara ini. Mereka tidak berangkat dengan pesawat komersial, melainkan dengan pesawat milik organisasi. Ketiganya bertugas untuk mengawasi laki-laki itu sembari mencari tahu identitasnya dan memastikan keamanan Retha dan Liann.

Proses check-in selesai.

Satu jam setelahnya, Liann dan Retha boarding. Sesuai rencana, mereka akan sampai di Jepang dalam 6 jam 35 menit dan segera menemui dokter.

●●●

Jepang, 14.30

Russel menginjak pedal gas mobilnya yang melaju menuju Bandara Narita. Siang ini, ia berjanji menjemput Retha dan Liann di bandara. Keduanya akan sampai beberapa menit lagi.

Russel tidak sendiri. Ada Ray yang menemaninya. Laki-laki itu sudah diperbolehkan pulang kemarin. Lukanya sudah berangsur pulih, meski terkadang masih terasa nyeri. Dokter bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, hanya perbannya yang harus diganti setiap hari dan pastikan lukanya bersih. Sejauh ini, Ray terlihat baik-baik saja.

Pukul 14.40

Setelah merapatkan mobil di parkiran bandara, Russel dan Ray melangkah menuju gerbang kedatangan luar negeri. Retha dan Liann harusnya sudah mendarat lima menit yang lalu. Keduanya mungkin sedang mengambil koper di tempat pengambilan bagasi.

Beberapa menit kemudian, gerbang kedatangan mulai terlihat ramai.

Russel mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Retha. Ia takut tidak bisa melihat gadis itu di antara kerumunan orang-orang.

Jepang, 14.46

Persis ketika nada sambung terdengar, goncangan dahsyat menghantam seluruh wilayah negara Jepang. Tanah serasa tengah baku hantam sesama mereka. Bangunan-bangunan yang tidak tahan gempa susul-menyusul roboh tanpa aba-aba. Gedung dan jalanan ricuh, termasuk bandara. Orang-orang sibuk menyelamatkan diri. Bertabrakan satu sama lain karena panik. Membuat suasana menjadi tidak terkendali.

Dalam enam menit, gedung yang semula menjulang, kini patah dan tinggal setengahnya. Dalam enam menit, jalanan retak dan dipenuhi oleh kendaraan yang terletak tak beraturan. Dalam enam menit, tak terhitung nyawa yang melayang tanpa peringatan. Benar-benar enam menit yang mengerikan.

Setelah goncangan dahsyat itu berhenti, Russel yang tadinya tiarap, takut-takut kembali berdiri. Diikuti oleh Ray dan beberapa orang di sekitar keduanya. Tanpa penjelasan pun, mereka sudah paham situasi apa yang tengah terjadi. Gempa bumi yang kesekian kalinya kembali melanda Jepang.

Ponsel Russel tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan dari atasannya. Ya, laki-laki yang mencari masalah dengannya tempo hari itu masih terhitung sebagai atasannya karena Russel sama sekali belum sempat menyerahkan surat pengunduran diri.

"Astaga!..."

Suara di seberang terdengar putus-putus. Gempa barusan ikut mengganggu sistem komunikasi.

"...teknologi penting..."

Meski tidak jelas, Russel tetap mempertahankan ponsel di telinganya. Ia yakin atasannya akan membicarakan sesuatu yang penting hingga harus menelfonnya di saat-saat bencana seperti ini.

"...nuklir."

Sambungan panggilan itu terputus. Russel terdiam. Berusaha mencerna potongan informasi yang barusan ia dapat. Beberapa menit hingga akhirnya Russel ikut berseru panik. Menjelaskan pada Ray yang menatapnya bingung.

"Aku harus pergi sekarang, Ray. Ada pengerjaan teknologi yang berkaitan dengan nuklir. Gempa barusan bisa saja membuatnya rusak dan menyebabkan bencana nuklir. Aku harus mengamankannya."

"Saya ikut!" putus Ray mantap sebelum Russel melangkah.

Tanpa bisa mencegah karena tidak bisa memikirkan solusi lain, Russel akhirnya mengangguk. Keduanya bergegas menuju mobil. Meluncur dengan cepat menuju tempat penyimpanan teknologi itu. Melupakan Retha dan Liann yang masih di bandara dalam keadaan panik bersama pendatang lainnya.

-lw-

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang