BAB 2 | Gadis Masa Lalu dan Pria yang dirindukan (2)

156 16 6
                                    


Malam beranjak larut. Keadaan rumah sakit semakin sepi. Kontras sekali dengan keadaan satu jam yang lalu. Saat mobil-mobil mengantarkan korban-korban pasca kecelakaan. Bed-bed digiring masuk. Cemas ER tidak bisa menampung semua pasien. Untunglah ketakutan itu tidak terjadi. ER masih bisa menampung semuanya, meski harus menambah satu-dua bed lagi.

Tepat 30 menit sebelumnya, dokter utama menemui Hiro. Laki-laki dengan perawakan tegas dan berusia lebih dari setengah abad. Ia membawa kabar buruk bahwa bundanya harus segera dipindahkan ke ruang operasi. Hasil rontgen menunjukkan salah satu tulang dada bundanya retak dan ada perdarahan di sana. Operasi perlu segera dilakukan sebelum darahnya menggumpal dan mengganggu aliran darah ke organ vital.

Dalam keadaan panik itu, Hiro menandatangani surat persetujuan operasi. Persis setelah persetujuan itu didapat, bed bundanya digiring keluar menuju ruang operasi. Wanita yang telah melahirkannya itu masih dalam keadaan tidak sadarkan diri dan kini telah mengenakan sungkup oksigen untuk membantu pernapasannya.

Kini telah berlalu sekitar 25 menit setelah bed bundanya masuk melintasi pintu besi ini. Namun, sampai sekarang masih belum ada perubahan dari pintu yang ditatap Hiro. Jangankan terbuka, berderit sedetik pun tidak. Hiro menghela nafas. Bagaimanalah ia bisa duduk dengan tenang dan menunggu di ruang tunggu? Diminta beranjak dari depan pintu tanpa mondar-mandir pun dia menolak. Seolah takut sekali kalau-kalau pintu itu akan terbuka saat ia sedang tidak ada di sana.

Kecemasan itu membuat AC yang tergantung di salah satu sisi dinding menjadi seolah tidak berfungsi. Keringat kembali mengucur pelan dan kali ini tepat mengenai pelipisnya. Tanpa sadar, Hiro meringis pelan. Ia menyeka pelan keringatnya yang bercampur darah. Meringis untuk kedua kalinya ketika melihat cairan itu menempel di punggung tangannya. Bahkan, ia lupa bahwa dirinya termasuk korban kecelakaan.

Perhatian laki-laki itu teralih saat ponsel yang ada di dalam kantong jeans-nya berbunyi. Ia sudah bisa menebak siapa yang menelfonnya larut malam begini. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang tengah mencemaskan keadaan bundanya seperti dirinya.

"Assalamu'alaikum, Yah?"

"Wa'alaikumussalam. Gimana keadaan bunda kamu? Operasinya sudah selesai?"

Hiro menggeleng pelan, meski tahu ayahnya tidak bisa melihatnya. Ia menghela nafas pelan sebelum akhirnya menjawab,

"Belum, Yah."

Terdengar helaan nafas dari seberang sana. Hiro tau, ayahnya sama khawatirnya.

Tadi, setelah menyetujui tindakan operasi, Hiro buru-buru mengabari ayahnya lewat telepon. Ia menceritakan soal kecelakaan dan kondisi bundanya. Tentu saja ayahnya cemas. Laki-laki yang ada di seberang benua itu memutuskan segera pulang. Ia tidak peduli lagi soal pertemuan bisnisnya besok. Tidak masalah kehilangan satu klien. Toh, bsinisnya tidak akan bangkrut karena itu.

"Oke. Ayah bakal take off sebentar lagi. Maafin ayah ga ada di sana sekarang."

"Hiro paham kok, Yah. Harusnya Hiro yang minta maaf. Kalau Hiro bisa lebih hati-hati, mungkin bunda ga bakalan kayak gini."

"Ingat, Roo. Qaddarullah. Kita berdo'a aja buat kesembuhan bunda."

Pembicaraan itu baru ditutup setelah satu-dua kalimat. Ayah Hiro harus menemui klien-nya yang super sibuk itu. Terlambat lima menit saja, belum tentu ia bisa menemui klien-nya dua-tiga bulan ke depan.

Bersamaan dengan itu, pintu yang sedari tadi ditunggu Hiro akhirnya terbuka. Perempuan yang sama yang tadi ia tahan di pintu masuk berjalan tergesa-gesa.

"Olive?!!"

Hiro mencoba memanggil nama gadis itu. Ia masih mengingat gadis itu setelah tadi sempat membaca name tag nya. Namun, jangankan berhenti, menoleh pun gadis itu tidak. Seolah takut sekali terlambat meski hanya satu detik.

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang