BAB 5 | Dua Sejoli Penyimpan Rasa (1)

119 12 11
                                    

"Sesuatu yang kamu anggap baik, belum tentu baik bagimu. Sebaliknya, sesuatu yang kamu anggap buruk, belum tentu buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui."

-Q.S Al-baqarah : 216

---

Guncangan pelan pesawat saat ini sama sekali tak mengusik kekhusyukan Ray dalam shalatnya. Laki-laki itu masih berganti gerakan demi gerakan dengan tenang. Melafalkan bacaan shalatnya dengan suara berbisik. Seolah-olah hanya Allah yang bisa mendengarnya.

Sepuluh menit yang lalu, Ray terbangun dari tidur panjangnya selama kurang lebih empat jam. Selepas melaksanakan shalat isya di langit suatu negara, Ray memutuskan tidur. Lalu mimpi itu datang tanpa permisi. Mengaduk-aduk alam bawah sadarnya dengan rasa rindu. Lantas membuatnya terbangun dalam kadaan sesak tak terperikan.

Sebagai solusi paling menjanjikan, Ray segera berwudhu' lalu menumpahkan segala keresahannya dalam tahajjud di tengah keheningan kabin pesawat. Laki-laki itu juga melengkapi shalat yang dilaksanakannya sebanyak delapan rakaat itu dengan curhat panjang kepada Allah dalam bentuk do'a.

Persis setelah Ray menutup do'anya, wajah-wajah yang tadi hadir di dalam mimpinya mendadak melintas. Bergantian seperti potongan film. Membuat laki-laki itu kembali mematung. Seolah tidak punya pilihan selain melihat deretan wajah itu satu-persatu.

Sadar bahwa hal itu hanya akan menumpuk kerinduan di dalam hatinya, Ray bangkit. Mengambil tasnya yang berisi dua-tiga buku setebal setengah jengkal. Mengeluarkan salah satunya. Kembali beranjak duduk.

Meski tahu bahwa fokusnya sama sekali tidak ada di sana, Ray tetap membuka buku itu. Bersikap seolah-olah begitu serius mencermati setiap kata-katanya.

Hal gila itu hanya bertahan selama lima belas menit karena persis saat Ray membalik halaman berikutnya, sebuah foto yang terselip di sana berhasil menarik perhatiannya. Foto yang diambil beberapa tahun lalu. Foto yang mengabadikan kebahagiaan bercampur kesedihan dari orang-orang yang disayanginya setelah keluarganya. Foto yang membuatnya memutuskan untuk menutup buku tebal itu pada detik yang sama.

Helaan napas Ray terdengar berat. Ia kembali memejamkan mata. Sepertinya rindu ini sudah mencapai batas. Rupanya, Essiel benar. Apa yang dulu ia bilang? Seperti cinta, rindu itu juga fitrah.

Dalam monolog hatinya, Ray berharap pesawat ini lekas mendarat agar ia bisa menyibukkan diri dan beranjak dari rindu ini sejenak.

●●●

Azan shubuh yang terdengar dari benda pipih itu akhirnya membuat Russel berhenti bekerja. Beranjak dari kursi setelah membereskan meja kerjanya. Mencuci tangan di westafel sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu.

Derit pintu terdengar saat Russel membuka pintu kamar. Gadis itu menghela napas kala melihat kamarnya yang begitu rapi karena tak ditempati selama semalaman. Sungguh ia ingin beristirahat rasanya. Namun, kewajiban shalat shubuhnya sudah menunggu.

Tanpa berlama-lama, ia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu mengingat tubuhnya sudah begitu lengket karena mendekam di laboratorium selama berjam-jam.

Persis setelah keluar dari kamar mandi, Russel mendengar getar pelan ponselnya yang ada di atas nakas. Namun, gadis itu tidak begitu peduli. Ia tetap menggelar sejadah dan mengenakan mukenah tanpa merasa perlu memeriksa benda pipih itu lebih dulu.

Russel pikir getaran itu akan berhenti setelah beberapa kali. Kenyataannya, hingga gadis itu menyelesaikan shalat dan do'anya, benda pipih itu masih bergetar tak karuan. Hal yang tentu saja sukses membuat Russel kesal bukan main.

Persis sebelum Russel mengangkat panggilan yang harus ia akui mengganggu kekhusyukan shalatnya, Russel beristighfar. Ia tidak ingin marah-marah tanpa alasan yang jelas. Bukankah Rasulullah sudah bersabda dalam hadisnya bahwa akan ada pahala bagi yang mampu menahan marahnya.

"Hello?" sapa Russel.

"Russel, sorry saya ganggu waktu kamu. Saya diundang untuk jadi pembicara di sebuah seminar jam 7 pagi ini. Saya berhalangan hadir karena ada urusan mendadak." ucap seseorang di seberang sana dalam bahasa setempat.

Tanpa perlu melihat siapa yang menelpon, Russel sudah hapal suaranya di luar kepala. Laki-laki itu adalah Calvin, atasan Russel di kantor selama satu tahun belakangan.

Russel terdiam. Ia memperhitungkan jadwalnya hari ini di dalam kepala. Belum lagi permintaan mendadak ini mengharuskannya untuk mempersiapkan materi yang akan disampaikannya sebagai pembicara.

"Saya sudah punya materinya kalau itu yang kamu pikirkan."

Russel menghela napas pelan. Sejujurnya, Russel berencana untuk tidak keluar hari ini. Ia harus merampungkan penelitiannya yang sudah mencapai progress 90%. Namun, ia juga tidak mungkin bersikap bodoh amat dengan permintaan ini.

"Oke Sir."

"Thank you, Russel. Kalau gitu, nanti saya kirimin materi sekaligus alamat lokasi acaranya."

Pembicaraan itu jelas sudah selesai.

Hampir saja Russel menutup panggilan itu saat ia mendengar lawan bicaranya berdehem pelan.

"Sorry Sir, ada lagi?"

Di seberang sana, lawan bicara Russel diam. Tidak ada yang terdengar kecuali desau mesin kendaraan yang sedang dipacu di jalan raya.

"Kamu mau saya jemput setelah acara selesai? Atau kamu punya waktu kosong malam ini? Mungkin kita bisa makan..."

"Sir, sorry. Saya menghargai tawaran anda, tapi anda tahu, kan bahwa saya akan lebih senang jika rencana itu diganti dengan makan malam tim kantor saja."

Nada bicara Russel sebetulnya sudah terdengar tidak senang. Russel sama sekali tidak masalah jika itu hanya makan malam biasa, makan malam antar teman ataupun makan malam sebagai ungkapan terima kasih. Namun, Russel tahu bahwa semua itu hanya upaya pendekatan sejak pernyataan cintanya tiga bulan yang lalu.

"Russel, apa aku benar-benar tidak punya kesempatan?" tanyanya dengan bahasa non formal yang tiba-tiba.

"Sorry, tapi aku jelas lebih mencintai tuhanku." tegas Russel seraya menutup panggilan.

-lw-

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang