BAB 30 | Insiden

37 7 7
                                    

Masih pagi di hari yang sama.

Bangunan yang digunakan sebagai tempat pengungsian kian ramai. Penduduk setempat yang berhasil dievakuasi terus berdatangan, membuat bangunan itu sedikit sumpek dan tidak nyaman. Belum lagi fasilitas yang sama sekali tidak memadai. Seharian kemarin saja, hanya ada satu potong roti untuk satu orang dan dibagikan saat siang dan malam hari. Dengan jumlah pengungsi yang terus meningkat, entah akan makan apa mereka hari ini.

"Kalian mau pindah, ga?"

Liann spontan menoleh ke arah Ray yang tadi bertanya. Begitupun dengan Russel yang sedang asik menggurat pola acak di lantai dengan jari telunjuknya.

"Pindah kemana?" tanya Liann tidak mengerti.

"Kemana aja. Asalkan ga disini. Mungkin kita bisa ikut membantu jadi relawan atau sejenisnya."

Jawaban Ray membuat Russel terdiam. Kalimat laki-laki itu jelas mengisyaratkan bahwa dirinya tidak mau lagi tinggal di sini lebih lama. Tanpa bertanya pun, Russel sudah paham alasan Ray melontarkan ide itu. Apalagi kalau bukan saat insiden shubuh tadi pagi.

●●●

Flashback on--

Russel akhirnya membuka mata dan kembali duduk. Menyerah untuk mencoba tidur meski rasanya dirinya sudah sangat mengantuk. Pikirannya sibuk berkelana kemana-mana. Risih rasanya harus tidur dalam keadaan bercampur dengan laki-laki seperti ini. Belum lagi sirkulasi udara yang tidak baik sehingga rasanya pengap. Entah alasan mana yang membuat Russel tidak mau memejamkan mata malam ini.

Seperti kebiasaan, Russel melihat jam tangannya yang masih berfungsi. Pukul 02.00. Memang terdengar terlalu pagi bagi orang Indonesia sepertinya, namun beberapa tahun tinggal di negara ini membuat Russel paham jam 02.00 sama saja dengan jam 04.00 di Indonesia sana.

Lantaran tidak ada yang bisa ia kerjakan, Russel melayangkan pandangannya ke seluruh arah. Ternyata bukan hanya dirinya yang masih terbangun. Ada sekitar tujuh orang yang terlihat tengah melamun, seolah memikirkan hari-hari berat yang akan mereka lalui. Dari penglihatan Russel di tengah cahaya temaram ini, ia bisa melihat tiga di antara mereka berwajah asing. Mungkin mereka turis yang berniat berlibur, namun malah harus terjebak dengan semua hal menyakitkan ini.

Entah berapa lamanya Russel melamun hingga ia akhirnya mengingat sesuatu.

Shalat shubuh!

Astaghfirullah!

Russel cepat-cepat melihat jam tangannya. Masih tersisa waktu beberapa menit. Ya. Pantas saja Russel sulit memejamkan mata. Di jam-jam ini, pada hari normal, Russel sudah menunaikan kewajiban shalat dan tilawah al-qur'an.

Spontan Russel menepuk-nepuk lengan Ray dan Liann yang masih tidur. Posisi keduanya tidak jauh darinya. Rupanya segala kecarut-marutan suasana ini sama sekali tidak membuat kedua temannya itu susah masuk ke alam mimpi.

Beruntung Ray dan Liann tidak sulit dibangunkan. Ray memang langsung paham saat Russel memberitahukan bahwa sekarang jam sudah menunjukkan pukul 02.34. Seminggu berada di Jepang membuatnya paham tentang perubahan waktu. Liann juga tak jauh berbeda. Di Swiss sana, shalat subuh dilaksanakan pukul 03.01. Jadi, pukul 02.34 juga bukan tergolong "terlalu pagi" baginya.

Ketiganya yang hendak melaksanakan shalat subuh terpaksa bertayammum. Apa boleh buat. Kamar mandi di bangunan tahan gempa ini memang masih utuh, terlepas dari retakan-retakan panjang di dindingnya. Namun, ketersediaan air lah yang menjadi masalahnya. Sepanjang hari kemarin saja, banyak orang kesulitan untuk sekedar buang air. Entah disebut beruntung atau tidak, baik Russel, Ray, maupun Liann, tak satupun dari ketiganya yang merasa berkepentingan untuk melakukannya. Mereka hanya diam di tempat masing-masing, menonton penduduk setempat yang protes tentang ketersediaan air pada pegawai pemerintah yang berada di sana.

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang