BAB 33 | Spesialis Ortopedi dan Alprazolam

38 8 12
                                    

Persis satu minggu pasca gempa dan tsunami Tohoku

Essiel akhirnya tidak lagi harus berbaring di tenda rawat khusus. Keadaan fisiknya sudah jauh lebih stabil. Meskipun perasaannya masih belum sembuh total, Essiel sudah pasrah dan menerima kenyataannya. Tidak ada gunanya berlarut-larut dalam kesedihan. Toh, hidup ini akan terus berlanjut, bagaimanapun keadaan dirinya.

"Kamu yakin mau keluar, Es?" tanya Evrena.

Ya, sejak keadan Essiel diketahui teman-temannya, mereka bergiliran menjaga gadis itu. Tidak sekalipun Essiel ada di tenda rawat khusus tanpa pengawasan salah satu dari mereka. Pagi ini, kebetulan Evrena yang giliran menemani Essiel. Gadis itu sudah ada di tenda sejak pukul 02.00, menggantikan posisi Liann yang sudah ngantuk berat.

"Iya, Ev. Aku bosan tiduran mulu. Lagipula, aku udah ga pake infus lagi, kan. Monitor bedside juga udah dilepas semalam."

Tidak punya alasan untuk menahan keinginan Essiel untuk keluar, Evrena akhirnya menghela napas pelan. Gadis itu kemudian mendekat dan memeluk Essiel. Hal yang jelas membuat Essiel kaget karena ia tahu bahwa Evrena adalah pribadi yang sama sekali tidak suka dengan sentuhan fisik, termasuk pelukan.

"Kamu kuat, Es. Ingat, kan, Allah ga akan pernah ngasih cobaan yang ga bisa dilewati hamba-Nya. Aku percaya kamu bisa Ikhlas untuk semuanya. Kalau kamu capek, ingat kalau kamu masih punya kami yang sayang dan peduli sama kamu."

Kalimat itu membuat Essiel tersenyum. Ia membalas pelukan Evrena. Dalam hatinya, Essiel paham bahwa pasti tidak mudah untuk Evrena mengucapkan kalimat romantis seperti itu, mengingat Evrena jarang sekali menunjukkan perasaannya. Bahkan, ini adalah kalimat romantis pertama yang Essiel dengar keluar dari mulut Evrena selama mereka berteman dekat.

"Iya, Ev. Aku beneran baik-baik aja, kok. Insyaa Allah aku juga udah Ikhlas."

Pelukan keduanya terlepas. Lantas tanpa kata, Essiel melangkah keluar tenda rawat, meninggalkan Evrena yang masih diam di posisinya.

Keadaan di luar tenda sangat sibuk. Relawan berlalu-lalang membawa para korban yang masih bisa diselamatkan. Korban yang sudah tidak bernyawa juga dibawa, dikumpulkan di satu tempat untuk dimakamkan secara massal.

Suasana yang tadinya sudah ramai akibat kesibukan tenaga medis, semakin ricuh dengan tangisan seorang anak kecil yang baru tiba. Ia menarik-narik baju salah seorang relawan yang membawa seorang laki-laki paruh baya yang terlihat tidak sadarkan diri.

Spontan saja Essiel mendekat ke arah sana. Persis menangkap tubuh anak kecil itu yang hampir saja terjatuh karena tak kuasa menggapai relawan yang membawa pergi sosok yang ditangisinya. Tatapan keduanya bertemu sebentar sebelum akhirnya anak kecil itu lebih dulu mengalihkan pandang, melanjutkan tangis yang tadi sempat terhenti.

Dengan inisiatifnya sendiri, Essiel memeluk bocah laki-laki yang kira-kira berusia lima tahun itu, menepuk pundaknya pelan dengan ritme tertentu seolah memberikan tempat agar ia bisa menumpahkan air matanya.

Tangisan itu lambat laun akhirnya berubah jadi isakan, membuat Essiel akhirnya melepas pelukannya, sempat menyeka sisa air mata bocah itu sebentar.

"Do you want to come with me?" (1) tanya Essiel dengan nada lembut sekaligus membujuk.

"Sumimasen, anata no itte iru koto ga wakarimasen" (2)

Essiel terperangah. Kehilangan kosa kata dalam kepalanya untuk menjawab. Aduh, bagaimana mungkin Essiel santai mengucap bahasa inggris pada bocah kecil ini? Oh, ayolah, ini ada di negara lain, dan bocah sekecil ini wajar belum mengerti bahasa asing.

Selanjutnya, Essiel kebingungan bagaimana cara mengajak bocah ini untuk berkomunikasi. Ingin menggunakan aplikasi terjemahan atau sejenisnya juga tidak memungkinkan, mengingat jaringan komunikasi masih lumpuh di wilayah ini.

Rumah [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang