20. Lomba

19 0 0
                                    

Gue diantar Devon kesekolah seperti hari - hari kemarin. Sesampainya disekolah, gue turun dan jalan meninggalkan Devon yang masih memarkirkan mobilnya. Gue sempat melirik kearah mobil Reyhan yang sudah terparkir rapi.

Bel masuk berbunyi, Bu Tati, si guru killer masuk kekelas gue.
"Pagi pagi udah ketemu muka asem ni guru."
Gue membatin.

Jarum panjang menunjukkan pukul 8 tepat, sudah waktunya gue dan Devon turun menemui Pak Gondrong.

"Bu, saya sama Reysha mau izin."
Devon menunjuk tangan seraya meminta izin.

"Ngapain kamu pagi - pagi berduaan izin?" tanya Bu Tati sinis.

"Tanya aja bu, sama Pak Junaedi. Kita ada lomba," ujar Devon dengan rasa malas menjawab.

"Lomba apa?" tanya Bu Tati lagi.

"Lomba nyanyi ibu guru yang cantik," jawab Devon sambil tersenyum kecut.

Setelah dipuji cantik, ia pun dengan mudah mengizinkan gue dan Devon keluar kelas.

"Jangan iseng kamu ke Devon," ujar Bu Tati saat gue ingin pamit bersalaman.

"Jangan genit!" tambahnya lagi.

Gue hanya mengernyitkan dahi.

"Tua tua kok begini banget yaallah," batin gue.

Kami berdua menuruni satu persatu anak tangga menuju gerbang sekolah. Pak Gondrong alias Pak Junaedi sudah berdiri sambil membawa tas kecil miliknya.

"Ayo, lama banget kalian turunnya."

Kami bertiga segera mengarah ke parkiran, masuk ke mobil Devon.

Beberapa menit berlalu, akhirnya kami sampai di tempat perlombaan, SMA Cinta Bangsa. Kami melakukan registrasi ulang dan mendapat nomor antrian, yaitu nomor 10.

Tidak lama setelah kami duduk, lomba dimulai.

Tak terasa, penampilan telah sampai ke nomor 6. Gue yang duduk disebelah kiri Devon merasa gelisah.

"Yang tampil bagus-bagus banget, Dev."

"Lo lebih bagus dari mereka."

"Engga, mereka kayaknya les nyanyi, deh," ujar gue semakin merendah.

"Percaya, deh, suara lo bagus banget. Orang - orang bakal seneng dengerinnya."

Devon memantapkan hati gue agar tidak gelisah.

"Kalo jelek gimana?" Gue masih ragu.

"Engga, mana mungkin secara tiba - tiba suara lo jadi jelek," ucapnya menenangkan gue.

Ketika sudah penampilan yang ke 8, seorang perempuan sepantaran berkacamata dan memakai kalung name tag panitia menghampiri kami.

"Peserta nyanyi nomer 10, ya? Ayo, ikut saya."

Gue dan Devon dibawa kebelakang panggung. Pak Gondrong sempat menepuk punggung Devon memberi semangat.

Tibalah saatnya kami tampil. Ketika ingin naik keatas panggung, Devon memegang tangan gue.

"You'll be the best singer. Your voice is so amazing," ucapnya dengan senyum terpancar diwajahnya.

"Jangan takut, harus selalu senyum diatas panggung."

Kata - kata Devon membangkitkan gue.

Performance kami berjalan dengan lancar. Devon hafal setiap not yang dimainkannya tanpa salah sedikit pun. Ia juga menyanyikan bagian yang seharusnya. Begitu juga gue. Kami pun disambut dengan standing applause oleh banyak orang. Pak Gondrong juga tersenyum puas dari bangku penonton.

Antara Mantan dan PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang