26. Muram

84 2 0
                                    

Hari ini gue berangkat sekolah sendiri dengan muka suram.

"Woy, kenapa tuh muka," ledek Viana sesampainya gue dikelas.

"Bacot."

Viana pun semakin mendekatkan tubuhnya ke gue seakan ia tahu gue sedang memiliki masalah.

"Cerita," pinta Viana.

"Masalah kemarin? Yang berantem itu?" tanya Viana.

Gue mengangguk.

"Kenapa? Reyhan atau Devon?" tanyanya lagi.

"Reyhan, Vi."

Viana menunggu gue melanjutkan kata-kata.

"Dia pendarahan di perut, Vi," ucap gue dengan pelan.

Gue mencoba membendung agar mata gue tidak mengeluarkan cairan bening tapi gagal setelah Viana memeluk gue.

"Kenapa dia? Kok bisa?" tanya Viana sambil mengusap punggung gue pelan.

Gue terisak lalu melanjutkan cerita, "gak tau, Vi, kayaknya karena tonjokan di perut."

"Vi, gue sedih. Sumpah, gue gak tega dia kesakitan. Dari kemarin dia ngeluh, ngerintih kesakitan selama dikamarnya sampe akhirnya dibawa ke rumah sakit."

Gue kembali terisak.

"Hari ini dia di operasi, Vi," lirih gue.

"Sha, lo harus tabah. Lo harus yakin kalo operasinya berhasil. Selain itu lo harus doain dia," nasihatnya dengan lembut.

Gue mengangguk dan mengeratkan pelukannya kepada Viana.

"Abis pulang sekolah lo kesana?" tanya Viana.

Gue mengangguk, "gue pengen cabut tapi ada si Tati yang killer."

"Gue temenin, ya, sama Adam?" izinnya lagi.

"Emangnya gak apa apa?"

Dia mengangguk.

Devon mendengar semua percakapan serta melihat buliran air mata jatuh dari pelupuk mata gue dibelakang. Ia tidak berkata satu patah katapun hingga bel istirahat. Sejujurnya gue sedih dengan perlakuan Devon ke Reyhan. Karena dia lah Reyhan mengalami pendarahan.

"Kantin, yuk," ajak Sarah yang masuk kekelas gue.

"Yuk!" jawab Viana dengan penuh semangat.

"Gue lagi gak pengen makan, gue dikelas aja mau tidur," ujar gue.

Viana, Sarah, Mya, dan Aretha pergi ke kantin. Begitu juga teman teman yang lain. Mungkin karena gue tadi menangis, mata gue menjadi berat dan gue memilih untuk merebahkan kepala diatas meja serta memejamkan mata.

Tiba-tiba gue merasa ada yang memeluk dari arah samping, dari arah meja Viana. Gue berpikir itu adalah Viana. Gue memegang tangannya yang melingkar memeluk tubuh gue.

"Kok tangan Viana gedean, ya? Emang Viana gendutan, ya?" gumam gue dalam hati.

"Vi, gue--" kata gue seraya mendudukan tubuh dengan posisi yang benar.

"ANJRIT!" pekik gue.

"Dev, apa-apaan, sih," protes gue ketika tahu yang memeluk gue adalah Devon.

Devon tidak melepaskan pelukannya. Wajahnya berada disalah satu bahu gue.

"Sha," ucapnya lirih. Ia seperti orang yang sedang sedih atau menangis.

"Mau apa, sih, lo?" ucap gue ketus.

"Maaf."

"Dev, gue muak sama ucapan maaf lo. Lo tau karena perbuatan lo, Reyhan masuk rumah sakit."

Antara Mantan dan PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang