23. Belum Jadi Pacar

25 1 0
                                    

Selasa, Reyhan tidak menjemput gue. Didepan rumah sudah bertengger motor beserta pemiliknya yang mukanya tertutup oleh helm. Devon.

"Woy, lama lo!" seru Devon.

"Kok, lo gak bilang mau jemput semalem?" tanya gue.

"Buat apa? Pasti Reyhan gak jemput lo."

"Dih, tau darimana lo? Bisa aja tiba tiba jemput," tukas gue dengan sewot.

"Buktinya, sampe sekarang gak dijemput tuh!" ujar Devon.

"Sini, buruan naik. Entar telat kita," ujarnya lagi.

Devon memasangkan helm ke kepala gue. Setelah gue mendapatkan posisi nyaman diatas motornya, ia mengendarai kendaraan itu kesekolah.

Sesampainya disekolah, terlihat Reyhan baru memarkirkan mobilnya. Ia melihat gue dan Devon berboncengan diatas motor. Mukanya memerah. Ia menatap sinis Devon.

Gue yang gak mau ada pertengkaran disitu, mau tidak mau harus berjalan bersama Devon. Padahal gue pengen banget ninggalin Devon ke kelas seperti biasanya.

Gue dan Devon berjalan melewati Reyhan yang masih diam mematung memperhatikan kami.

"Misi, bang," ledek Devon.

Reyhan tak menggubris ledekan Devon. Syukurlah, ia bisa menahan amarah tidak seperti waktu itu. Mungkin ia lelah diceramahi gue.

"Reysha, nanti pulang sekolah, tunggu gue. Jangan pulang sama selain gue. Gue rapat OSIS bentar, lo tunggu dimobil. Nih, kuncinya," Reyhan berbicara ke gue seraya memberikan kunci mobilnya.

Gue hanya melongo, lalu mengiyakan. Devon menunggu Reyhan selesai berbicara, lalu menarik gue pergi.

"Udah mau bel masuk," ucap Devon lalu membawa gue pergi.
**

Bel pulang berbunyi, gue menuruti perintah Reyhan. Gue berjalan ke parkiran, masuk ke mobil Reyhan dan menyalakan AC. Tidak lupa gue mengunci pintu mobil agar tidak ada sembarang orang masuk.

Hampir setengah jam gue harus menelan rasa bosan, duduk diam, mengotak atik handphone, hingga akhirnya terdengar ketukan di kaca mobil.

Reyhan datang. Gue pun membukakan kuncinya. Dia masuk dengan muka datar dan segera melajukan mobilnya.

"Kok muka lo datar?" gue membuka obrolan.

"Kamu kenapa sama Devon mulu?" ia justru balik bertanya tanpa menjawab basa basi gue terlebih dahulu.

"Dia bilang dia mau anter jemput gue kalo lo gak bisa. Terus dia suka dateng tiba tiba, gimana mau ngelarang," jawab gue singkat dan padat.

"Kamu pilih deket sama dia atau aku?" tanya Reyhan.

Gue bingung dan mengernyitkan dahi.

"Maksud lo apaan, dah?" tanya gue.

"Gue gak suka lo deket sama Devon," tukasnya.

"Ih, lo tuh, ngerti gak sih dibilangin berkali-kali. Devon itu temen gue sekarang," balas gue ketus.

"Ooh, lebih milih Devon dibanding gue? Sana sama dia aja. Gue gak butuh lo!"

Kata-kata itu melayang dari mulut Reyhan. Seorang ketua OSIS yang biasanya gue lihat adalah orang bijak yang menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, sekarang berubah.

Gue kaget mendengar kata-kata barusan. Sakit hati? Pasti.

"Gue mau turun disini!" pinta gue setengah berteriak.

"Turunin gue!" gue berteriak sekali lagi.

Ia mengusap wajahnya kasar. Gusar. Ia menuruti kemauan gue. Ia memberhentikan mobilnya ketika lampu lalu lintas berwarna merah.

Gue membanting pintu mobilnya dengan kasar.

Gue mendengus kesal dan berjalan ketepian. Gue memesan uber.

**
Gue sampai dirumah beberapa menit setelah kejadian.

"Kak Reysha, kok, pulangnya lebih lama dari biasanya?" tanya Reyna setelah gue masuk rumah.

"Urusan pribadi."

Gue segera berjalan kekamar.

Sedih banget rasanya hati gue. Mood gue seketika ancur. Reyhan yang masih belum berstatus pacar sama gue aja bisa-bisanya bersikap kayak gitu. Gue gak mau kejadian sakit hati saat pacaran sama Devon terulang. Gue harus lebih berhati-hati dalam bertindak dan memutuskan.

Gue menelepon Viana dan mengadukan hal yang tadi terjadi.

Viana shock bukan main.

"Anjir, bajingan banget. Kurang ajar. Siapa dia bisa ngomong gitu ke lo? Pacar juga bukan. Gausah lagi lo deket sama dia. Gak sudi gue!"
Begitulah ocehan Viana yang gue dengar di sambungan telepon.

Sebelum sambungan itu terputus, gue berpesan kepada Viana agar kabar ini tidak terdengar ke siapapun, ke Mya, Aretha, Sarah, apalagi ke Devon.

Viana juga balik berpesan ke gue agar gue menjauhi Reyhan karena menurutnya Reyhan bukanlah Reyhan yang gue kenal lagi. Tapi, ia kembali menyerahkan semuanya ke gue. "Tapi, terserah lo, sih. Kan perasaan itu punya lo. Gue gak berhak nentuin. Tapi jangan salah nentuin, ya."

Sambungan telepon diputus. Rasa sakit hati gue masih ada, tapi gue sedikit lega karena udah mencurahkannya kepada Viana.

Antara Mantan dan PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang