29. Rumah Reyhan

44 2 0
                                    

"Reyshaaa," panggil Viana ketika kaki gue memasuki kelas.

"Kenapa lo?"

"Gapapa, seneng aja liat lo gak lecek mukanya pagi-pagi, hehe."

Gue pun tersenyum dan mendaratkan tubuh gue dikursi.

"Liat pr matematika, dong," pinta Viana dengan cengirannya.

"Ye, pantes nyambut gue depan pintu. Ternyata ada maunya, toh," ledek gue. Viana hanya cengar cengir menanti buku matematika gue. Gue pun segera mengambilnya didalam tas.

"Sip! Sepuluh menit bakal kelar!" ucapnya. Tangannya lekas menyalin berburu mengejar waktu bel.

Tepat saat bel masuk, buku gue sudah kembali.

"Thanks, my chairmate. Btw, gimana kabar Reyhan?"

"Udah pulang, tiga hari dia harus istirahat dirumah baru boleh sekolah lagi."

Viana mengangguk, "bagus, deh. Jangan sedih-sedih mulu lo."

**
Pelajaran demi pelajaran berlalu, istirahat, hingga bel pulang. Devon sama sekali tidak bertegur sapa. Dia benar-benar menjaga jarak. Ada rasa kehilangan sedikit dihati gue karena perilaku Devon seperti itu. Tapi itu juga karena permintaan gue waktu itu, gue masih ingat jelas. Jadi gue gak bisa menyalahkan siapapun. Gue cuma bisa ngikutin alur yang ada sekarang dan mencoba melupakan Devon meski masih ada namanya di hati gue. Gue mencoba membuka seluruh hati gue ke Reyhan.

**

Sekarang gue sudah ada didepan pintu rumah Reyhan. Mobil gue sudah terparkir dihalaman rumahnya. Tadi disekolah gue sudah meminta izin Reyhan untuk datang kerumahnya dengan membawa mobil.

Tok.. Tok.. Tok
Gue mengetuk pintu rumah Reyhan. Tak lama, mama Reyhan membuka pintunya.

"Eh, Reysha," sapanya dengan senyum mengembang.

"Wah, tante ada dirumah? Gak kerja, tan?" tanya gue.

"Tante cuti buat urus Reyhan. Ayo, sini masuk."

"Makasih, tan," ucap gue seraya membuntuti mama Reyhan.

"Kamu pasti mau jenguk Reyhan, kan? Sana langsung naik. Dia ada dikamarnya."

"Iya, tan. Oya, ini aku bawa brownies keju."

"Wah, kamu selalu aja bawa makanan. Maaf, ya, merepotkan terus jadinya."

"Engga, kok, tan."

"Yaudah, gih, kamu keatas temuin Reyhan," perintahnya.

Gue pun berjalan menaiki satu persatu anak tangga hingga sampai disalah satu pintu kamar.

Gue mengetuk pintu dan terdengar sahutan didalam, "masuk, gak dikunci."

Knop pintu diputar, gue masuk kekamarnya.

"Aku kangen," kata Reyhan saat pertama kali gue masuk.

"Kebentur apa kepala kamu sampe ngomong gitu?"

Reyhan hanya tertawa kecil.

Entah kenapa gue malah berbicara aku-kamu dengan Reyhan.

"Kamu nyetir sendiri? Gak capek?"

"Aku kesini mau nanyain kabar kamu, jangan malah kamu yang nanyain aku."

"Aku kan peduli sama kamu."

"Aku juga."

"Kamu gimana kabarnya? Masih sakit?"

"Engga, bahkan aku maksa kesekolah tapi gak dibolehin mama."

"Awas aja kamu iseng-iseng dateng kesekolah sebelum waktu yang dibolehin dokter. Aku hajar kamu," ucap gue seraya mengepalkan tangan.

Kami mengobrol dikamar hingga mama Reyhan masuk.

"Maaf nih mama ganggu pasangan muda," ledek mama Reyhan ketika masuk kekamar Reyhan.

"Kenapa, ma?" tanya Reyhan.

"Ayo, kita makan bareng dibawah," ajak mama lalu langsung keluar.

Gue dan Reyhan pun turun dan mengarah ke meja makan.

"Eh, ada papa," ucap Reyhan ketika matanya menangkap sosok pria paruh baya sudah duduk di salah satu kursi makan.

"Papa baru pulang, nak, dari dinas luar kota. Ayo, makan."

"Ah, yaa.. Reysha, kan?" tanya papanya ketika melihat gue yang berdiri disamping Reyhan.

"Iya, om," kata gue dan menghampiri papa Reyhan untuk salim.

"Gak usah takut, saya gak galak. Istri saya juga gak galak. Anggep aja rumah sendiri, Reysha. Reyhan suka ceritain kamu ke istri saya, istri saya juga ceritain ke saya," jelasnya.

"Iya, om," kata gue seraya cengar-cengir bingung harus menjawab apa.

Kami pun makan dan suasana menjadi hening.

Antara Mantan dan PacarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang