I'm your home, she said.
Then he replied, so, i'll never go home again.
•
Sudah setahun semenjak ijab kabul itu berlangsung, dan hubungan ini masih sama. Bahkan untuk bertegur sapa sulit sekali dilakukan. Entah karena tertahan ego atau hal lain, Riana tak mengerti. Bukan tak mengerti dengan dirinya melainkan dengan Suaminya, Adimas.
Riana pun masih meingat apa saja hal-hal yang pernah ia bicarakan dengan Adimas dan ternyata jumlahnya dihitung oleh jari. Yang pertama ketika Adimas mengatakan akan tidur di ruang kerja dan memintanya tidur di kamar. Kedua, ketika Adimas memberitahunya akan sering pulang larut malam. Ketiga, memberitahu ada operasi dadakan. Keempat, diminta pergi ke rumah mertua. Kelima, mengucapkan lahir bathin ketika lebaran. Ke enam, "Aku sudah makan malam di luar."
"Eh, ngelamun aja," Ovi menyenggol lengan Riana yang bertumpu di atas meja.
"Jadi les TOEFL gak?"
Riana mengangguk lemah, matanya masih menerawang pada jalanan yang lengang melalui jendela cafe, "Jadi kok."
"Kenapa lesu gitu sih. Semangat dong."
Riana mamasang tasnya "Ya, Aku pergi dulu."
"Hati-hati dijalan, Na."
Begitulah hari-hari Riana, senin sampai kamis pagi kuliah, siang kerja di cafe, jum'at sore les TOEFL dan setiap hari ia pulang jam 6 sore. Jam segitu tidak bisa dikatakan larut namun semenjak memiliki suami Riana selalu was-was jika terlalu lama menghabiskan waktu di luar. Terkadang ia sedih pada dirinya sendiri karena selalu berpikir seolah-olah Adimas mencarinya padahal mungkin pria itu sama sekali tak perduli.
Ceklek
"Assalamua'laikum."
Hening. Riana membuang nafas berat, memang selalu hening yang membalas salamnya.
Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, Riana turun ke dapur menyiapkan makan malam seadanya. Ya seadanya, karena ia tidak pandai memasak.
Selesai menata makanan di meja, seperti biasa ia akan duduk menunggu Adimas pulang dengan ditemani segelas teh hangat. Belajar, atau menonton film tanpa menyentuh makanan lebih dulu sebelum suaminya pulang. Jika perutnya sudah mulai berbunyi atau bosan belajar ia akan pergi tidur. Jam 10, ia selalu tidur tepat jam segitu.
Drrtt
From : Adimas
Aku jaga pasien malam ini.
Riana mengangguk dengan wajah kantuknya kemudian kembali merebahkan diri. Ia terlalu ngantuk dan malas turun ke bawah untuk makan malam.
Setiap kali kejadian seperti ini, maka besok pagi maagnya akan kambuh. Riana tak perduli, ia sering sakit perut sehingga sudah terbiasa. Bukan berarti didiamkan pula, ia tetap mengkonsumsi obat, sedari dulu malah.
•Good morning, Adimas•
To : Adimas
Hari ini pulang jam berapa Kak?
Tak ada balasan. Riana mengetik kembali, Jangan lupa makan.
Tanpa menunggu balasan lagi, Riana mematikan handphonenya dan fokus pada kelas. Memang seperti itu, Adimas memposisikan diri menjadi pembaca dan ia pengirim. Selalu seperti itu, sehingga Riana sudah terbiasa. Juga terbiasa akan sakit hati.
Sementara di tempat lain di sebuah ruangan dimana seorang sedang terbaring berjuang untuk hidup dan matinya. Tapi ia tak sendiri ada para para dokter yang membantunya hingga ia pun berhasil melewati ketakutan itu.
Bukan hanya keluarga yang dapat menghela nafas lega ketika operasi berjalan lancar namun juga para dokter. Khususnya Adimas, dia adalah sosok yang disegani bukan karena ia cucu pemilik rumah sakit Halim tapi karena kepintaran dan ambisinya yang kuat. Sedari awal ia paham bahwa pekerjaannya beresiko. Baginya dokter adalah perantara Tuhan dalam menyampaikan takdir-Nya. Hidup mati seseorang dalam genggamannya maka ia rela mengesampingkan segala hal yang dapat memecah konsentrasinya ketika berada di ruang operasi. Keselamatan pasien adalah fokus utamanya. Sebagaimana yang tertera pada Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 8 bahwa dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Selesai mengganti pakaian Adimas menyalakan handphonenya kembali. Hal yang menyapanya pertama kali adalah pesan yang dikirim oleh Istrinya.
From : Riana
Hari ini pulang jam berapa Kak?
From : Riana
Jangan lupa makan
Sudut bibirnya tertarik membaca pesan tersebut namun kembali pudar ketika melihat waktu kapan pesan itu dikirim oleh istrinya. Jam delapan pagi dan ini sudah jam enam sore.
Adimas membuang nafas berat, memandang matahari sore lambat laun kembali ke peraduannya dan membaca kembali pesan istrinya yang mengingkatkannya agar jangan lupa makan siang.
Seharusnya Riana tak lagi mengiriminya pesan atau paling tidak gadis itu memarahinya. Tapi itu jika ia menikahi wanita lain, ini adalah Riana. Ia tahu betul seberapa sabar Istrinya itu.
•Good morning, Adimas•
Like dan komen👌🏻
Instagram penulis : @52whalien_
KAMU SEDANG MEMBACA
Good morning, Adimas (Telah Terbit)
RomanceDisarankan follow sebelum membaca. Rank from wattpad : #1 Married Life #1 Romantic #2 Indonesiamembaca #1 grasindo #1 Kopi {Good morning, Adimas} Sudah setahun semenjak ijab kabul itu berlangsung, dan hubungan ini masih sama. Bahkan untuk bertegur s...