CHAPTER 35 || I Leave Her

59.6K 3K 310
                                    

"He was so calm when I was by his side. But he can be cool in a crowd and when I'm not by his side," She told me about her husband.

He smiled after hearing that and then replied, "Because you are my sun, melt the ice inside me and make it like a calm river."

Pekerjaan dan perasaan tidak boleh dicampur dan memang tidak akan bisa disatukan. Lantas mana yang harus didahulukan? Bagi seorang dokter mungkin kebanyakan dari mereka akan memilih pekerjaan. Karena nyawa manusia ada di tangan mereka tentunya dengan campur tangan Tuhan juga, sehingga mereka dituntut untuk terus siap dan tanggap dalam bekerja. Ibarat mereka adalah kaki tangan Tuhan untuk menyampaikan takdir-Nya.

Begitupula berlaku bagi Adimas, setelah mendapat telepon dari Bima yang mengatakan bahwa pasien VVIP-nya alias Riani dalam kondisi kritis. Dengan hati gelisah dan bimbang Adimas pun memutuskan untuk memesan tiket pesawat apapun dengan keberangkatan sore ini juga. Selama perjalanan menuju bandara ia terus berkomunikasi dengan Bima memberitahu apa yang harus dilakukan untuk penyelamatan pertama. Ijinkan ia mengatakan satu hal pahit bahwa Ayahnya, David tidak mau mengutus dokter lainnya untuk menangani Riani selama ia tidak ada, sehingga ia tidak bisa pergi kemanapun selain berada di rumah sakit.

Ponselnya masih terus dibuat sibuk, ia juga mencoba menghubungi Riana untuk memberitahu kepergian mendadaknya ini namun ponsel istrinya tidak bisa dihubungi dari tadi.

"Shit!" Adimas mengumpat, bukan karena marah pada Riana yang tidak bisa dihubungi melainkan marah pada dirinya sendiri yang lagi-lagi tidak bisa memenuhi janjinya pada sang istri.

"Maafin mas Riana," gumamnya bersamaan taksi yang membawa seluruh tubuhnya saat ini menuju bandara.

Di dalam pesawat Adimas duduk dekat jendela. Lembayung senja di ujung sana membuatnya teringat akan Riana. Ia mengambil kotak persegi kecil dari dalam kantong celananya. Menatap kalung berbandul bunga yang rencananya hari ini ingin ia berikan pada Riana.

Pramugari memberitahu para penumpang bahwa sebentar lagi pesawat akan lepas landas meninggalkan kota Bali menuju Jakarta. Untuk terakhir kali Adimas mencoba menghubungi Riana namun operator memberitahu bahwa Riana sedang berada pada sambungan lain. Ia pun mematikan ponselnya untuk mematuhi prosedur penerbangan.

Sesampainya di Jakarta Adimas langsung memesan taksi untuk mengantarkannya ke rumah sakit Halim Gunawarman. Keluar dari taksi Adimas langsung menuju ke ruang dimana Riani sedang diatasi. Bima mengatakan padanya bahwa detak jantung Riani begitu cepat dan sempat sesak nafas.

Adimas khawatir jika itu adalah salah satu komplikasi dari gagal ginjal yaitu penyakit anemia. Karena ginjal Riani akan tidak bisa membuat hormon penting yang disebut erythropoietin atau EPO dalam jumlah yang cukup. EPO memberi tahu tubuh untuk membuat sel darah merah. Tanpa EPO yang cukup, jumlah sel darah merah akan turun dan menyebabkan anemia.

"Gue sama yang lain udah di ruang rahasia. Doktor David lagi gak ada di Halim, kita bawa ke IGD aja atau gimana baiknya menurut lo?" tanya Bima di seberang sana.

"Gak usah, gue udah di lantai 6 sekarang. Lo siapin semua peralatan gue."

Adimas mematikan sambungan. Ia menunggu di dalam lift dengan perasaan tak karuan. Pintu lift terbuka ia pun segera berlari menuju ruang rahasia. Ruang yang menjadi tempat Riani biasa ditangani agar tidak ketahuan David. Sebelum masuk ke ruangan Adimas membasuh kedua tangannya sampai bersih dan melepaskan jaketnya. Namun ternyata ada satu hal yang lupa ia lepaskan, yaitu cincin pernikahan.

Good morning, Adimas (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang