Chapter 20 || You Don't Know Me

63.2K 3.7K 76
                                    

I know you more than you know. I also know your feelings for me, She said.

Then he replied, Nothing, right?

Ya, you don't have any feelings for me, She murmured while holding back tears.

Riana tak kuasa berlama-lama menatap mata Adimas ia pun membuang pandangan dan melanjutkan kalimatnya.

"Dan soal cincin, maaf kalau lancang tapi aku mohon kakak pakai saat Mama sama oma datang. Aku minta dipakai sebentar.... aja. Setelah itu mau kakak lepas lagi juga aku gak masalah kok."

Tak terhitung sudah berapa kali Riana membohongi diri sendiri. Tak mengatakan sejujurnya apa mau hatinya. Membunuh sesak di dadanya ketika mengatakan itu dan berusaha keras agar suaranya tidak bergetar apalagi sampai menitikkan air mata. Beginikah rasanya mencintai seseorang yang tidak mencintai dirinya.

Adimas membuang nafas kasar karena Riana mengalihkan pembicaraan. Dan lagi-lagi memakai bahasa baku seolah mereka baru saja mengenal.

"Oh iya biasanya Mami datang setiap jum'at buat isi kulkas. Kalau oma jarang kesini, biasanya aku yang nyamperin soalnya oma sibuk sama usaha cateringnya."

"Oke, waktunya udah habis," Riana mematikan timer dua detik sebelum benar-benar habis.

Adimas merebut handphone Riana, memasang timer untuk lima menit lagi. Dan meletakkannya benda persegi itu di sisinya.

"Berhenti bicara seolah kamu tahu apa isi pikiran aku dan apa yang hati aku mau," kata Adimas begitu tenang namun berhasil menyentil hati Riana.

Ini karena kita gak pernah lagi berbicara sehingga kita saling berasumsi satu sama lain, batin Riana menyahut.

Andai Adimas dan Riana saling berbicara dan bertukar cerita serta isi pikiran masing-masing mungkin tak ada asumsi yang berakhir salah. Baik Riana ataupun Adimas terkadang keduanya seolah mengerti apa isi pikiran dan hati pasangan. Riana yang berasumsi bahwa Adimas tidak mencintainya dan Adimas yang berasumsi bahwa Riana tidak bahagia bersamanya.

"Aku gak suka cara bicara kamu yang terdengar seolah kita baru kenal kemarin. Cukup bilang maaf saat kamu bener-bener ngelakuin kesalahan. Aku gak akan ngelarang kamu pulang sampai sore tapi jangan bohongin aku. Aku gak marah kamu kerja di kafe kalau memang kamu senang. Dan..." Adimas menggantung kalimatnya sudah lama ia ingin mengatakan ini karena sejujurnya ia sangat khawatir, "makan kalau memang kamu lapar jangan nunggu aku pulang."

Riana tertegun. Matanya terpaku pada Adimas dan menunggu laki-laki itu melanjutkan kalimatnya.

"Aku gak seperti yang kamu pikirkan dan aku gak sedingin yang kamu lihat."

Tapi kamu bukan Adimas yang dulu lagi. Bukan anak laki-laki yang sering tersenyum dan suka bercanda, batin Riana.

"Memang apa isi pikiran dan isi hati kakak sebenarnya?" tanya Riana.

Kali ini giliran Adimas yang bungkam. Ia melarang dan marah pada orang lain yang lancang menebak isi pikiran dan hatinya. Karena ia sendiri gagal menjabarkan bagaimana isi pikiran dan hatinya ini.

"Aku gak tahu, semuanya berantakan. Aku gak tahu yang mana yang harus didahulukan," jujur Adimas menatap pekatnya kopi di dalam cangkirnya.

Good morning, Adimas (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang