Chapter 27 || He Can Be Sweet Too

58.7K 3.1K 26
                                    

"I'm so confused with you! Your cold attitude is very painful for me, but sometimes it also melts my heart," she said.

He smiled in response, "I will be your poison, you will be sick and healed by me."

Lagi-lagi panggilan alam berhasil membangunkan Riana, tapi kali ini rasa sakitnya berbeda. Keningnya berkerut, satu tangannya tergerak untuk meremas perutnya. Ia tarik ke atas kedua kakinya hingga membuat posisi memeluk diri.

Ceklek. Adimas masuk dengan koper berisi pakaian Riana yang ternyata benar disembunyikan oleh Mamanya. Berdiri di ambang pintu melihat Riana seperti menahan rasa sakit. Ia mendekat menyentuh lengan istrinya, ingin bertanya apa yang sakit namun matanya tak sengaja melihat bercak merah di sprei.

"Kenapa?" Riana membuka mata dan bertanya dengan suara serak.

Adimas menggeleng, "Gak papa," dan menarik selimut menutupi bercak darah itu dan juga tubuh Riana-membiarkan istrinya untuk tidur kembali.

Adimas turun meraih kunci lagi dan pergi membeli sesuatu. Tak lama ia pun kembali ke villa. Membuat teh jahe panas dan membawanya ke kamar bersamaan menenteng plastik hitam.
Mendapati Riana sudah terjaga dan duduk bersender di ranjang. Wajahnya pucat dan keningnya berkeringat. Riana bahkan memejamkan mata dengan tangan meremas perut.

Adimas menatap tak tega, baru kali ini ia melihat langsung bagaimana perempuan dihari pertama menstruasinya. Mamanya dulu sering mengeluh sakit perut dan sakit pinggang pada hari pertama sampai hari ketiga.

Adimas menaruh teh jahe dan kantong plastik berisi pembalut di atas nakas, lalu mengambil duduk di sebelah Riana.

"Mana yang sakit?" tanyanya.

Riana membuka mata, ia tersenyum-senyum lemah, baru kali ini ia merasa menstruasi hari pertama sesakit ini.

"Mas sudah sarapan?"

Adimas mendengus kesal mendengar Riana malah bertanya balik.

"Itu buat aku?" Riana menunjuk secangkir teh jahe dengan asap yang masih mengepul. Ia tidak bisa tidak tergoda melihat teh apalagi dalam kondisi seperti ini. Ia butuh teh dan air panas, baginya itu adalah perpaduan yang sempurna.

Adimas mengangguk, mengambilkan dan menyerahkan teh tersebut dengan hati-hati karena masih sangat panas. Ia pikir Riana belum bangun sehingga ia buatkan teh yang panas.

"Jahe?" tanya Riana ketika wangi khas jahe menyapa indra penciumannya.

"Itu bagus buat sakit perut," ujar Adimas jutek karena Riana memandang kecewa pada teh jahe olahannya. Tangannya mengambil bantal dan menaruhnya di belakang punggung Riana agar pinggang gadis itu tidak sakit.

"Masih panas," peringatnya ketika Riana hendak langsung menyantap teh tanpa meniupnya.

Riana meniup beberapa kali lalu meminumnya. Matanya melirik Adimas yang memandangnya tak biasa. Seperti khawatir namun wajahnya tetap datar.

"Aku gak papa kok, mas," ujarnya.

"Oh iya, mas habis darimana?" Riana meletakkan kembali cangkir teh.

Adimas menangkap basah gerakan tangan Riana yang berusaha menutupi bercak darah yang ada sprei. Sayangnya ia sudah tahu lebih dulu.

"Ngambil baju kamu."

Riana terenyuh dengan perlakuan Adimas yang mau pergi mengambilkan kopernya pagi ini bahkan sebelum ia bangun.

"Makasih. Terus ini apa?"

"Buka sendiri," Adimas menjawab dengan nada jutek. Jujur ia menghabiskan waktu berdiri di depan pintu minimarket untuk mengumpulkan nyali demi sebuah pembalut. Ia jadi tahu Riana tidak membawa barang wajib perempuan itu, ketika ia membawa pulang isi koper Riana dari hotel mamanya.

Riana tak menyangka Adimas membelikannya pembalut juga. Sepertinya gunung es yang ada di dalam tubuh Adimas sudah mulai mencair sejak tadi malam. Lucu sekali, ia baru tahu Adimas bisa semanis ini meskipun wajahnya tetap jutek.

"Makasih mas," ucap Riana selalu tak ketinggalan.

"Hm."

"Kalo gitu aku mau mandi, mas tunggu diluar aja."

"Kenapa?"

"Soalnya aku takut mas jadi jijik lihat kondisi aku sekarang," jawab Riana dengan suara memelan.

"Kaos mas kena-darah. Maaf, maaf banget."

"Mas udah bilang kan minta maaf kalau benar-benar ngelakuin kesalahan. Memang ini kesalahan kamu kalau kamu pms? Mandi sana."

Riana bungkam namun bibirnya berkedut ingin tersenyum. Omelan Adimas kali ini tak melukai batinnya tapi justru menggelitik hatinya. Entah dirinya yang geer atau apa, kalimat Adimas barusan seperti tersirat kasih sayang dan kesal dalam satu waktu.

"Kenapa lagi?" Adimas menegur Riana yang malah diam memandanginya.

Riana berdecak kesal, "Mas keluar dulu aja deh," usirnya lagi.

Adimas menarik selimut dan melilitkannya ke tubuh Riana hingga menutupi bagian yang ingin Istrinya itu tutupi darinya-padahal ia sudah melihatnya lebih dulu tadi.

Riana dibuat tertawa cekikikan ketika Adimas membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

"Gimana caranya aku jalan kalau begini," protesnya masih dengan tawa.

Adimas menggindikan bahu tak perduli, ia sibuk menarik keluar ujung sprei di setiap sisi ranjang.

Riana pun melenggang pergi ke kamar mandi. Adimas melirik dan tersenyum geli melihat cara berjalan Riana seperti seekor pinguin.

~*~

Instagram : retnoinggriani

Good morning, Adimas (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang