Masa Kritis

4.5K 343 11
                                    

Author POV

Seminggu lebih Alice dirawat dan belum sadarkan diri, orang tua Loisa pulang ke kampung halaman mereka , dan Edgard berada ditangan daddy Loisa, Stephen Fyffe.

Kini Loisa memegang tangan Alice yang bebas dari jarum suntik. Dokter yang merawatnya selalu on time memeriksa kondisi Alice. Beberapa kali Alice berada di masa kritisnya dan itu membuat Loisa terus menangis.

"Leon, aku pergi kerja dulu ya." Ucap Loisa sembari membelai lembut rambut Al.

Loisa melihat senyuman samar Al dan itu membuatnya senang. Dia mencium kening Al lalu pergi kerja.

Setelah Loisa pergi, dokter yang merawatnya masuk ke ruangan. Dia memeriksa infus dan lain-lainnya. Lalu dia melihat denyut nadi Al semakin rendah.

"Perawat!!!" Teriaknya.

Secepat kilat para perawat segera menangani Alice yang mengalami denyut nadi yang rendah. Begitulah jika Alice kembali ke masa kritisnya. Tak lama kemudian mereka selesai dengan tugasnya dan Al kembali ke masa komanya.

Si dokter terduduk lesu di dekat pasien.

"Jantungmu tergores, Al." Ucap sang dokter.

Dokter itu meremas rambut panjangnya. "Sudah cukup dengan mesin pembunuhmu.. papamu benar-benar mengerikan."

Dokter itu berjalan ke kasur Al lalu memegang pundaknya. "Kau harus tunjukkan kalau bukan Glans yang mengendalikanmu. Kau yang harus mengendalikan Glans."

Lalu dia menepuk pundak Al, "Aku pergi."

Loisa POV

Malam ini sepertinya aku lembur. Huft, padahal sudah jam 10 malam. Leon gimana ya hari ini? Semoga dia baik-baik saja.

Kudengar pintu ruanganku di ketuk, "Masuk."

Terlihat lelaki dan perempuan berpakaian berjas, sepertinya bukan staff sini. Mereka menunjukkan identitas mereka.

"Kami dari kepolisian, dengan nona Loisa Fyffe?"

"Iya, ada apa ya?"

Aku berdiri lalu menjabat tangan keduanya dan kusuruh mereka duduk di kursi tamu. Mereka menolak, katanya hanya sebentar.

"Kami hanya sebentar, nona." Ucap lelaki itu.

"Kami hanya memberi kabar bahwa tersangka Edgard Trevor." Polisi wanita itu terdiam sebentar. "Bagaimana dengan keadaan Agen Glans?"

Aku tersentak.

"Agen.. Glans?" Beo ku.

Mereka mengangguk. Sepertinya aku kurang mengenal siapa Leon.

"Agen Glans adalah bagian dari kepolisian yang dicopot dari penugasan sejak ayahnya meninggal. Tersangka ET juga akan kami selidiki, karena dia pembunuh mantan kepala polisi setempat."

Lagi-lagi aku hanya terdiam. Fakta keluarga Leonhart banyak yang tidak kuketahui.

"Alice sudah seminggu lebih masih koma dan dia juga berkali-kali memasuki masa kritisnya."

Mereka hanya diam lalu mengangguklah si wanita.

"Dokter yang merawat Agen Glans adalah dokter kepolisian kami." Dia diam. "Sebelumnya maaf ya, dok--"

Lelaki itu berdiri lalu membungkuk hormat kearahku. Hal itu membuatku dan polwan itu terkejut.

"Nona Loisa, kami akan memberitahu bagaimana kelanjutannya nanti." Dia mengulurkan tangan.

Aku hanya terdiam tapi aku membalas uluran tangannya. Mereka keluar setelah berpamitan denganku.

"Dokter?" Lalu aku tersadar.

Aku segera berkemas dan menuju ke rumah sakit. Setelah tiba di ruangan rawat Leon, kulihat semakin banyak peralatan untuk Leon. Aku hanya bisa terdiam dan lemas.

Seseorang membantuku berdiri. Si dokter. Dia tampak kelelahan, sudah terlihat dari matanya yang sayu.

"Hari ini pasien sudah 2 kali memasuki masa kritis."

Dia melihat Leon dengan tatapan yang bisa kutebak.

"Apa dia akan--"

"Tidak, kami akan berusaha maksimal mungkin."

Dokter itu membuatku terkejut. Damn. Dia berjalan pelan sambil memeriksa alat-alat itu. Dia kelihatannya butuh tidur.

"Emm, dok?"

Dokter itu menoleh dengan wajahnya yang melongo. Terlihat lucu. Kayak orang bego ahahaha.

"Apa kau tidak tidur?"

Dia terlihat memikirkan perkataanku lalu dia menggeleng. "Tidak, aku ingin melihat perkembangan Al."

Al? Itu panggilan untuk teman-teman dekatnya.

"Kami sudah saling berkenalan sejak dia menjadi Agen rahasia polisi. Maaf. Sudah mantan." Dia menjawab pertanyaan sanubariku. Lebay.

"Kalau boleh tahu, kamu siapanya Al?" Lanjutnya.

"Aku pacarnya." Lalu tersadar. "Maksudku tunangannya."

Dokter itu tampak terkejut lalu dia tersenyum lembut kearahku.

"Jaga adikku ya."

Lalu dia menatap lembut kearah Leon.

"Bocah itu selalu lepas kendali kalau marah. Glans selalu melindungi dia."

Oke aku sedikit bingung.

"Glans."

Dia menoleh kearahku. "Glans sebutan papanya buat sisi lainnya. Dia dijadikan mesin pembunuh sebelum masuk ke kepolisian. Setelah masuk, dia diajarkan banyak hal hingga sampai dia mengendalikan Glans itu sendiri."

Dia memegang pucuk kepalaku dan tatapannya yang lembut. Dia kakak idaman.

"Kejadian kemarin, dia memanggil Glans untuk melindungimu. Dia menyerahkan hidupnya kepada Glans. Makanya dia terima saja saat pedang menusuk dadanya. Itu menggores sedikit dari jantungnya."

Perkataan dokter itu membuatku terkejut setengah mati. Aku mengambil tangannya yang ada di kepalaku. Terasa air mata mulai berlinangan.

"Tolong sembuhkan Leon, dok."

Dokter itu tersenyum lembut.

"Leonmu akan segera pulih." Ucapnya. "Percayalah padanya."

Aku hanya mengangguk lalu kurasakan rengkuhan dokter itu. Dia memelukku lembut.

"Al sudah kuanggap sebagai adik, seorang kakak akan sekuat tenaga menyembuhkan adiknya. Benar, kan?"

Dia melepaskan pelukannya lalu melangkah pergi dari ruang rawat ini.

"Namaku Loisa Fyffe."

Dia menoleh.

"Sherly Leonhart. Saudara jauh Al."

Dia pergi dari pandangan begitu saja. Kulihat Leon tertidur lemah di kasur rawat itu. Aku menyesal karena tidak menolak proposal Edgard.

"Edgard bajingan." Desisku.

***

Black Coffee (GXG) {FIN}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang