Ken menangis seharian. Aku baru tahu kalau ia amat dekat dengan wanita yang dipanggilnya bibi itu. Ia mengamuk, mogok makan, dan membanting benda apa saja yang ada di kamarnya.
Ia baru mereda saat aku membuatkan sup ayam dan jamur hitam kesukaannya. Meski awalnya menolak, tapi Ken mau juga memakannya bahkan ia sampai tertidur padahal sup di mangkuknya masih tersisa setengah lagi.
Aku kembali ke kamarku setelah Ken benar-benar tertidur pulas. Kalau tidak, dia pasti tak akan memperbolehkanku keluar dari kamarnya.
Saat aku menuju lantai bawah dan melewati ruang kerja Om Jonathan, tanpa sengaja aku melihat pria itu sedang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kulihat, dengan wanita itu.
Aku menelan ludah. Jantungku berdebar saat aku melihat Om Jonathan melepas kemejanya dan mulai menjilati leher dan dada wanita itu.
Aku tersentak. Tidak seharusnya aku melihatnya. Wajar saja mereka melakukannya. Sebab, status mereka yang sudah suami isteri. Hanya saja, kenapa mereka sampai membiarkan pintu itu tidak tertutup rapat?
Bagaimana kalau Ken yang melihatnya?
Di dapur, ada tiga ART yang sedang mengobrol. Mereka hanya melihatku sekilas, lalu membuang muka. Memang, sejak aku tinggal disini, mereka tidak pernah memperlakukanku dengan ramah. Mereka hanya ramah dan baik, saat aku sedang bersama dengan Ken dan Om Jonathan. Entah apa maksudnya. Mungkin mereka cuma ingin mencari muka saja.
Kamarku ada di lantai bawah. Cukup besar dan sangat bagus. Dengan kasur berukuran double yang sangat empuk dan nyaman. Dan sederet fasilitas lainnya, yang biasa kutemui di kamar hotel berbintang.
Om Jo memang orang yang sangat ramah dan baik padaku. Selain mengizinkanku tinggal disini, aku juga dijanjikan akan dibiayai sekolah olehnya hingga aku lulus nanti.
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, selain hanya mengatakan terima kasih padanya.
Aku tahu sedikit tentang siapa Om Jonathan itu. Rupanya dia itu adalah manager sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. Dan selain itu, aku juga dengar dan tahu dari para orang-orang yang bekerja disini, kalau Om Jo itu punya beberapa restoran mewah di Jakarta, Bandung, dan Bali.
Rumah utamanya pun ternyata bukan rumah yang saat ini aku tempati. Melainkan rumah utamanya ada di Jakarta. Tepatnya berada persis di kawasan elit daerah Selatan Jakarta.
Kubuka hapeku. Banyak notif whatsapp dari grup teman-teman sekolahku. Aku membacanya tanpa pernah membalasnya. Mereka sedang membicarakan kelas yang akan mereka tempati rupanya.
Aku menscroll layar hapeku ke atas. Sampai kemudian aku menemukan sebuah tulisan yang membuatku agak tercengang. Ternyata Dandi sudah keluar meninggalkan grup. Aku tidak tahu kapan pastinya. Dan aku tidak akan bertanya pada teman-temanku.
Selain grup teman-temanku, aku baru sadar kalau ada dua nomer asing yang mengirimiku whatsapp. Sebetulnya Niko juga mengirimiku whatsapp. Dia menanyakan kabarku, dan terus mengirimiku pertanyaan yang sama setiap harinya, meski aku gak pernah membalasnya.
'Adam, ini nomer saya. Dewantara. Trims.'
Saat aku mengklik foto profilnya, itu memang benar foto Pak Tara yang sedang berpose bersama dengan beberapa rekannya di sebuah pantai sepertinya.
Aku pun membalasnya dengan seperlunya. Meski telat membalas, semoga saja Pak Tara bisa memaklumi keadaanku yang sekarang ini.
'Sorry ini nomernya Adam Elwise kan? Gue Romeo. Sabtu besok bisa ketemuan diluar gak?'

KAMU SEDANG MEMBACA
ME
Teen FictionIni adalah ceritaku. Aku yang harus berjuang seorang diri, di dunia yang kata kebanyakkan orang penuh dengan drama, ambisius, pencapaian, pengorbanan, dan air mata. Aku tidak peduli dengan mereka atau siapapun. Karena aku sudah cukup senang dengan d...