19

2.2K 271 14
                                    

"Adam...!!"

Ketiga temanku itu langsung menyambut aku yang baru berdiri di muka pintu dengan wajah sedikit bingung.

"Sini, Dam!" Ira menyadarkanku kembali.

Jadi inilah kelasku. Syukurlah aku bisa tetap bersama dengan ketiga temanku itu. Meski aku tidak bisa menghindari tatapan dari dua orang cowok yang duduk di bangku agak belakang itu.

"Kita gak kebagian bangku belakang. Jadi disini deh.." Ujar Lutfi.

Aku mengangguk. Kuletakkan tasku, barulah kududuk setelahnya. Sekali lagi, jadi inilah kelasku. Kelas baru dengan wajah-wajah baru yang sebagian besar tampak begitu asing sekali untukku.

"Kamu tahu gak Dam, wali kelas kita siapa?" Tanya Ira yang duduk di belakangku.

Jujur, sebenarnya aku agak sedikit canggung untuk menghadap ke belakang. Sebab itu artinya sama saja aku harus melihat wajah kedua orang itu.

"Siapa?" Aku duduk menyamping. Menoleh ke belakang cuma beberapa detik saja. Dan itu saja aku bisa merasakan bahwa ada beberapa pasang mata yang juga sedang memperhatikanku.

"Pak Panji, Adam!!" Lutfi menepuk pahaku. "Mangkanya kalo orang lagi ngobrol di grup ikutan apa sih!"

"Ohh, Pak Panji ya.."

"Udah mah wali kelas itu guru paling favorit, ehh kita juga bisa barengan masuk kelas unggulan gini. Gak nyangka banget sih..."

Kuhadapkan wajahku pada Ira. Aku tidak tahu kenapa ia begitu bersemangat sekali. Tidak seperti dengan diriku yang malah sebaliknya. Aku malah merasa, bahwa siswa-siswa di kelas ini kelihatannya sangat angkuh-angkuh dan tidak bersahabat sekali.

"Selamat pagi...!!" Pak Panji masuk dengan langkahnya yang tegap dan mantap.

"Selamat pagi, pak...!!"

Ia meletakkan buku absensinya di meja. Lalu dia menyandar ke mejanya dengan kedua tangan melipat di depan dada, sambil memperhatikan kami semua.

"Jadi --- selamat datang di kelas X.X..!!" Pak Panji bertepuk tangan. Lalu kami pun ikutan bertepuk tangan. Entah apa maksudnya. Mungkin sebagai bentuk penyambutan sepertinya.

Hal pertama yang dilakukan Pak Panji adalah mengabsen kami satu persatu, sambil mengajukan beberapa pertanyaan ringan. Seperti misalnya, apa tujuan kalian sekolah disini -- apa rencana kalian setelah lulus dari sekolah ini -- dan juga -- ia menanyakan sedikit latar belakang kehidupan kita.

Dan ketika aku sedang berdiri sambil menjawab pertanyaan Pak Panji dengan suara pelan, tiba-tiba saja ada sebuah suara yang menyela pembicaraanku.

"Btw, lo dari panti asuhan mana sih, Dam?"

Kutolehkan wajahku dengan perasaan canggung. Kucari siapakah pemilik suara barusan itu.

"Emangnya waktu di panti lo gak punya temen ya? Kasian banget sih idup lo.."

Sekarang aku tahu siapakah pemilik suara itu. Seorang cewek kurus berwajah putih pucat yang duduk persis di depan Niko.

Dan ini bukanlah kali pertama aku dan dia bertemu dalam kondisi yang seperti ini.

"Gak usah diladenin, Dam.." Ira mendesis padaku. Rupanya ia juga sedang melirik sinis pada cewek itu.

"Jadi, dia bisa masuk kelas ini karena beasiswa gak mampu ya?" Kini siswa lain ikut menimpali.

"Ya gitu deh." Cewek itu tersenyum sinis. "Kita kan juga udah tahu, siapa disini yang nomer satu. Ya kan, Nik?"

"Veronica..." Pak Panji memanggil nama itu sambil menunjuk buku absennya. "Apa kamu sudah saya izinkan untuk berbicara?"

METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang