"Gak usah grogi, Dam. Lemesin aja.."
Aku menghela sambil memejam sejenak. Kalau aku melemaskan sekujur tubuhku, bagaimana aku bisa menyeimbangkan posisiku dan menjalankan motor matik milik Om Jonathan ini?
"Sudah ya, pak. Aku gak bisa." Kataku pelan.
"Pantang menyerah bagi cowok sejati, Dam! Ayo! Kamu pasti bisa!"
Sekali aku mencobanya. Meski kakiku harus sedikit berjinjit untuk bisa menapak, setidaknya aku akan membuktikan kalau aku --- nguueennggg....
Mataku terus fokus lurus ke depan. Begitu juga dengan pikiranku. Kuabaikan Pak Tara yang dengan posisi duduknya amat berhimpitan denganku.
"Bagus..." Suara Pak Tara membuat bulu kudukku berdiri. "Iya, bagus --- pelan-pelan aja, Dam..."
Aku mengerem pelan saat ada polisi tidur. Rasanya deg-deg'an sekali. Tapi setelah melewatinya, ada perasaan lega dalam hatiku.
Aku tersenyum sendiri. Karena mengendarai motor tak sesulit yang kubayangkan selama ini. Tapi aku mengendarai di jalanan komplek yang sepi dari lalu lalang kendaraan.
Aku gak tahu apa jadinya, kalau aku mengendarai di jalanan yang ramai dengan lalu lintas. Mungkin aku akan langsung menabrak, dan besoknya aku akan langsung dikuburkan.
"Kita istirahat dulu, Dam.." Ujar Pak Tara.
Aku pun menepi. Kini kucoba untuk menstadarkan berdiri motor ini. Agak susah. Dan Pak Tara pun kali ini tak tega sepertinya untuk mendiamkanku.
Kami berdua duduk di tepi jalan dekat gerbang masuk komplek perumahan. Hanya satu dua kendaraan saja yang melintas. Namun di seberang sana, aku melihat sekumpulan anak-anak sedang bermain sepak bola dengan riang sekali.
"Kalau sekali sudah bisa naik motor, nanti naik motor gede kamu juga bisa, Dam."
Aku menoleh pada Pak Tara. "Terima kasih, Pak Tara. Lebih baik aku menghitung kelerengnya Ken di kamar saja."
"Kamu jangan salah lo, Dam. Cowok yang naik motor sport itu, jadi berkali lipat keren dan machonya di depan cewek-cewek."
Aku menoleh lagi padanya. Kusodorkan kedua telapak tanganku padanya. "Uangnya dari Pak Tara ya?"
"Uang?" Dahinya berkerut.
"Buat beli motor sport."
Pak Tara cengar-cengir salah tingkah. "Boleh saja. Asal kamu mau tinggal sama saya."
Jantungku berdebar. Kutatap lekat-lekat wajah tegasnya Pak Tara. Kurasa yang barusan ia ucapkan itu, bukanlah sebuah kalimat main-main.
"Aku gak bisa, Pak.."
Pak Tara balik menatapku. "Kenapa?"
"Pertama, aku bukan siswa sekolah kepolisian. Kedua, tinggi dan postur badanku tidak mendukung untuk jadi polisi. Dan ketiga, aku gak mau punya banyak musuh."
"Hei...!!" Pak Tara melempar puntung rokoknya yang masih panjang. "Siapa bilang jadi polisi itu banyak musuhnya?"
"Ada beberapa oknum polisi yang melakukan tindakan tidak adil, curang, dan banyak berbohong."
"Hmmm..."
"Tapi Pak Tara tidak kan?"
"Kalau saya demikian, tentu saja saya sudah dipecat lama sekali."
"Jadi, Pak Tara itu polisi yang baik atau tidak?"
"Kamu ini nanya apa sih, Dam..?" Pak Tara mengacak rambutku. Dia bahkan menarikku ke dalam rangkulannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/191259991-288-k934189.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ME
Teen FictionIni adalah ceritaku. Aku yang harus berjuang seorang diri, di dunia yang kata kebanyakkan orang penuh dengan drama, ambisius, pencapaian, pengorbanan, dan air mata. Aku tidak peduli dengan mereka atau siapapun. Karena aku sudah cukup senang dengan d...