"Sekarang kamu udah ngerti kan, Nik?"
Niko agak malu dan salah tingkah padaku. Dia juga ngerasa bersalah karena memaksa untuk mempertemukan dia dengan bapak driver itu.
"Oalahh mas, masa iya saya yang udik dan kampungan ini orang tuanya Mas Adam yang gantengnya keterlaluannya itu..." Pak Jono tertawa tanpa dibuat-buat. "Kebeneran saya lagi mangkal deket kfc taman topi. Saya kira Mas Adam butuh jemputan lagi."
"Anaknya udah sehat, pak?" Tanyaku.
"Sudah Mas Adam. Terima kasih." Pak Jono sampai mengusap-ngusap lenganku. "Saya juga senang, Mas Adam akhirnya diterima masuk di sekolah ini."
"Iya. Mungkin, berkat doa bapak sama anaknya.."
"Aamiin. Kalau begitu saya pamit dulu. Ada orderan masuk. Mari Mas Adam. Mari semuanya.."
Perasaanku lega sekali setelah menjelaskan semuanya pada Niko, dan ketiga teman baruku itu. Sayang, si cowok berwajah masam itu udah ngeluyur pergi duluan entah kemana.
"Sebenernya nih ya, cuma diliat doang -- aku juga udah tahu, kalo bapak tadi gak mungkin banget bokapnya si Adam." Tukas Ira. "Ibaratnya nih, udah kayak cobek sama porselen..!"
"Bener banget!" Tukas Lutfi.
"Baik buruk, bapak itu ciptaan Allah loh." Aku memotong. "Menghina bapak itu, sama aja kalian menghina Allah."
"Upsss..." Ira mengatupkan bibirnya. "Maaf..."
"Kalo pas ospek lo gitu, bisa di damprat sama senior loh.." bisik Rina.
"Wahhh kalo itu sih, aku mesti hati-hati banget." Ira menyengir lebar.
"Pada balik ke arah mana nih?" Tanya Niko.
"Aku ke Yasmin." Jawab Ira.
"Aku ke Empang." Timpal Rina.
"Kalau aku ke --- Tajur.." Lutfi menyengir.
"Kenapa Nik, mau ngajak barengan ya?" Tanya Rina centil.
"Enggak." Niko cengar-cengir. "Gue cuma bawa motor soalnya."
"Gak usah ngomong! Dasar!" Rina memutar bola matanya. Kesal ia sepertinya.
"Lo balik kemana, Nik?" Tanya Lutfi
"Dramaga."
"Kalo kamu, Dam?" Kini giliran aku yang ditanya sama Lutfi.
"Laladon."
"Berhubung gue cuma bawa motor, dan searah sejalan sama nih anak --" Niko merangkulku. "Balik yuk, Dam! Hhehee...!"
"Woii, nanti kita lanjut di grup wa ya!" Teriak Ira.
"Iya!" Balasku. Entah, apa mereka bertiga bisa mendengar suaraku dari kejauhan atau tidak.
Niko merangkulku terus sampai di tempat parkiran motor. Aku jadi merasa aneh dan risih sendiri.
Ia membuka jok motornya, dan mengeluarkan satu helm lainnya. Helm retro klasik yang ukurannya sangat pas sekali dengan kepalaku.
Aku agak takut saat Niko mulai melajukan motornya. Terlebih saat ia melajukan motornya dengan kecepatan sedang ke tinggi, lalu menyalip diantara dua mobil. Rasanya jantungnya seperti mau copot.
Aku menepuk bahunya saat sudah sampai di depan minimarket dekat terminal Laladon.
"Yakin disini?" Tanya Niko.
"Iya." Jawabku sambil menyerahkan kembali helmnya. "Jalanannya sempit dan jelek. Nanti takut motor kamu rusak."
"Hmmm, oke deh. Hati-hati ya, Dam.."
KAMU SEDANG MEMBACA
ME
Teen FictionIni adalah ceritaku. Aku yang harus berjuang seorang diri, di dunia yang kata kebanyakkan orang penuh dengan drama, ambisius, pencapaian, pengorbanan, dan air mata. Aku tidak peduli dengan mereka atau siapapun. Karena aku sudah cukup senang dengan d...