Waktu aku baru masuk SD dulu, aku ingat betapa aku sangat senang dan antusias sekali menyampuli buku-buku tulisku, lalu mamah memberikan namaku pada bagian depan. Awalnya aku tidak begitu mahir menyampuli buku tulis dengan sampul kertas cokelat. Bukannya membantu, kata papah aku ini hanya membuat kekacauan saja. Tapi mamah tidak demikian. Dia memberikan satu buku tulis, dan satu gulung sampul kertas cokelat. Dan mamah menyuruhku untuk berlatih sampai aku bisa.
Jika mengingat hari itu, dadaku rasanya sesak sekali. Tidak adalagi mamah dan papah yang membantuku menyampuli buku dan mengantarku sekolah esok pagi.
Aku cuma bisa duduk di atas kasur sambil memandangi foto mamah dan papah. Foto terakhir mereka yang kuambil dengan kameraku sendiri, sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.
Tok.. Tok.. Tok..
Kutatap pintu kamarku dengan pandangan sedikit berbayang. Apakah orang yang mengetuk pintu kamarku itu adalah mamah?
Mungkin mamah ingin menanyakan, apakah aku sudah menyiapkan seragam dan perlengkapan untuk sekolah besok.
Tiba-tiba aku ingin menangis. Aku rindu sekali dengan mereka. Aku ingin memeluk mereka sekali lagi. Setidaknya.
"Om Jo.."
Senyum Om Jonathan seketika hilang saat melihat wajahku.
Nampaknya aku ini seperti orang yang sangat bodoh sekali. Aku berhasil melalui tahun demi tahun dalam kesendirian. Tapi kenapa malam ini, aku begitu cengeng sekali?
"Kamu kenapa, Adam?" Om Jonathan memegang lenganku. Dia membimbingku ke tempat tidur. "Apa Ken melakukan sesuatu?"
Aku menggeleng. Papah bilang, kalau aku menangis wajahku jadi jelek seperti badut yang dilempari telur busuk.
"Aku ingat sama mereka..." Kataku pelan.
Kupikir Om Jonathan akan bereaksi dengan mengambil bingkai foto kedua orang tuaku. Tapi ternyata, dia malah memelukku.
"Bukankan sekarang Om juga sudah bagian dari keluargamu, Adam?"
Tubuhku bergetar. Rasanya air mataku ingin keluar lagi. Pelukkan hangat Om Jo, sungguh mengingatkanku pada papah. Cuma pelukkan papah yang bisa menenangkan perasaanku, saat aku habis diejek dengan julukkan alien zombie oleh teman-temanku dulu.
Om Jo melepaskan pelukkannya. Dan kini, dia malah mendaratkan sebuah ciuman di dahiku.
"Istirahatlah. Karena besok, kamu kan sudah mulai sekolah."
Kutatap wajah Om Jonathan yang teduh itu. Tidak bisakah aku memeluknya sebentar lagi saja?
Tanpa sadar, kutahan tangannya saat ia hendak beranjak dari kamarku.
Dia menoleh padaku. Wajahnya kelihatan sedikit bingung. Dan aku pun baru sadar, bahwa Om Jonathan sudah menikah dengan seorang wanita yang sangat dicintainya. Dia tidak mungkin membagi hatinya untuk orang lain, kecuali wanita itu dan juga Ken.
"Gak papa. Maaf."
Om Jonathan memegang kepalaku. "Besok Pak Tara akan menemani Ken selama kamu sekolah. Jadi kamu tidak usah mencemaskannya."
Aku sedikit lega mendengarnya. Meski sebenarnya aku belum begitu bisa percaya dengan Pak Tara.
Kurebahkan tubuhku di kasur. Di luar gerimis mulai turun kembali. Aku harap semoga saja hujan terus turun bertambah deras.
Drrrttt... Drrrttt...
Aku menghela nafas sebelum menjawab panggilan video call masuk darinya..
'Hai!'
Aku kembali duduk. "Kak Romeo.."
'Besok, gw jemput jam 6.15 ya..!'
"Gak ngerepotin kan?"
Kak Romeo menggeleng mantap. Aku tidak tahu apa yang habis dilakukannya, sebab dia cuma memakai celana pendek dan duduk di atas kasurnya dengan eskpresi kikuk.
'Btw, gue punya sesuatu buat lo. Bentar ya...'
Kak Romeo turun dari kasurnya. Meski tubuhnya tidak sebagus Niko, tapi Kak Romeo itu punya bentuk perut yang rata dan dada yang bidang. Tidak seperti aku yang seperti papan cucian baju.
Dia sudah kembali lagi. Kali ini dia membawa gitarnya. Aku mungkin dia akan memberikanku hadiah gitar? Aku ini kan terlahir dengan pita suara seperti anak tikus got. Bernyanyi sedikit saja, mamah yang sedang memasak langsung berlari menghampiriku dengan wajah panik. Mamah kira, suaraku itu adalah suara terompet sangkakala.
'Tadi -- pas abis nganterin lo, gue jadi kepikiran buat nulis lirik lagu..'
Jadi, Kak Romeo itu bercita-cita sebagai pencipta lagu ya...?
Aku perhatikan dia yang masih memetik perlahan tali-tali senar gitarnya. Mungkin dia masih menyamakan lirik dan nadanya.
'Kau ---'
Kak Romeo menatapku. Baiklah kalau memang dia sudah menyatakan perasaannya padaku secara terang-terangan.
Tapi, aku ini Adam Elwise. Bukan Juliet yang memang sudah ditakdirkan untuk seorang Romeo.
Kudengarkan tiap lirik dan bait yang dinyanyikan oleh Kak Romeo. Tubuhku merinding sejadinya. Aku jadi teringat saat papah dan mamah sedang berdua di teras depan rumah. Waktu itu papah menyanyikan sebuah lagu untuk mamah dengan gitar tua kesayangannya. Aku masih tidak tahu kenapa mamah sangat menyukai permainan gitar dan suara papah saat itu. Padahal saat aku mendengarkan suara papah, hidungku mimisan banyak sekali.
'Gimana, Dam? Lo suka gak?'
Aku mengangguk pelan. Mulutku seperti terkunci rapat sekali. Haruskah aku memujinya? Ataukah aku berkata yang sejujurnya...?
"Kak Rom biasa tidur gak pakai baju ya?"
'Yap. Why?'
"Emang gak takut masuk angin?"
'Hahaha. Ya enggak lah! Lo itu aneh banget sih, Dam..!'
Bola mataku bergerak ke berbagai obyek di kamarku. Apa barusan aku salah bicara ya? Ya Tuhan...!!
'Dam, tidur yang nyenyak ya. Sorry seharian ini gue udah nyita waktu lo..'
"Aku juga mau bilang terima kasih, kak. Kakak udah baik banget sama aku dan Ken."
'Jelas dong. Masa mau dapetin kakaknya, gak baik-baikkin adeknya? Lagian nih ya, Ken itu anaknya galak juga ternyata. Buktinya aja, dia berani mukul si Dandi..'
"Oh iya ---"
'Dam, udah dulu ya. Si brengsek udah balik. Sampe ketemu besok ya! Love u...!'
Klik.
Kini aku diam membisu, seperti tikus yang dikepung oleh tiga kucing. Aku masih tidak bisa berfikir, kenapa Kak Romeo sampai sebegitunya sama aku. Memangnya, apa yang spesial dari diriku ini?
Hhhaahh...!
Sekolah baru. Lingkungan baru. Pertemanan baru. Dan aku juga harus siap menghadapi masalah yang baru juga...
######

KAMU SEDANG MEMBACA
ME
Teen FictionIni adalah ceritaku. Aku yang harus berjuang seorang diri, di dunia yang kata kebanyakkan orang penuh dengan drama, ambisius, pencapaian, pengorbanan, dan air mata. Aku tidak peduli dengan mereka atau siapapun. Karena aku sudah cukup senang dengan d...