Satu bulan berlalu..
Setelah kejadian saat itu, Danar dan juga Arina benar-benar menjadi dua makhluk asing. Mereka tidak saling sapa ataupun melihat satu sama lain. Sejujurnya Danar sendiri masih merasa sangat bersalah kepada Arina, karena sudah mempermainkan perasaannya. Tentu saja setelah semua masalah ini dia menjadi berubah. Berubah dari pria yang dingin menjadi pria yang begitu pendiam dan sangat dingin. Begitupun dengan Arina, diam-diam dia masih menangis ketika mengingat semua yang sudah di lakukan Danar kepadanya. Dia berusaha memaafkan Danar, tapi tidak untuk memulai pertemanan yang baik dengannya.
Hari ini adalah hari terakhir Ujian Akhir Tingkat Nasional untuk murid kelas 3 SMA. Arina sudah duduk manis di dalam mobil. Sudah hampir 2 minggu ini dia selalu meminta Bian untuk mengantar dan menjemputnya sekolah. Tidak tahu kenapa, Arina hanya suka melakukan ini. Dia berubah menjadi pribadi yang semakin diam dan juga tertutup daripada sebelumnya.
“Gimana? Udah siap buat ngerjakan ujian terakhirnya?” tanya Bian.
“Siap dong. Kan gua pintar.”
“Ntar pulang sekolah mau makan dulu? Gua traktir deh.”
“Beneran?”
“Apapun yang lu mau, gua beliin.”
Arina tersenyum lalu memeluk kakaknya itu. Bian membalas pelukan Arina dengan hangat. Dia memang tidak tahu apa yang sudah terjadi pada adiknya itu, namun feeling seorang kakak juga tidak salah. Bian tahu Arina sedang tidak baik-baik saja dengan hatinya, namun dia tidak memaksa adiknya itu untuk bercerita. Dia mencoba mengerti keadaan Arina. Yang bisa dia lakukan hanya berusaha ada dan selalu membuatnya tersenyum.
Setelah sepakat dengan kemauan Arina, Bian bergegas pergi meninggalkan area sekolah Arina. Begitupun dengan Arina, ia melangkah kakinya masuk ke dalam sekolah. Setiap kali ia hendak masuk ke dalam, hatinya kembali terasa begitu sesak, ia sudah merasakan ini selama satu bulan. Ingin sekali dirinya melupakan semuanya, namun semakin kuat tekadnya untuk melupa semakin besar juga rasa sakit yang ia rasakan.
“Arina..” panggil seseorang di sana.
Arina mengalihkan pandangannya, menemukan seseorang yang sudah memanggil namanya. Ia tersenyum hangat, “Hei Ndo..”
“Udah siap ujian hari terakhir?”
“Siap dong.”
“Bagus. Gua yakin lu pasti bisa, good luck.”
“U too.”
Masih ingat Nando? Iya dia adalah salah satu teman dekat Danar. Setelah hubungan Arina dan Danar berakhir dengan buruk, Nando lah salah satu orang terdekat Danar yang masih berani untuk menyapa dirinya. Berbeda dengan Kevin dan juga Kayla, mereka memilih bungkam ketika bertemu dengan Arina. Melontarkan senyum saja tidak, mereka terbiasa kabur jika bertemu dengan Arina. Padahal Arina sendiri tidak membenci keduanya, mereka juga tidak bersalah dengan apa yang sudah menimpa Arina. Namun tetap saja, menghindar adalah pilihan yang mereka ambil untuk Arina.
Setelah semua murid memasuki laboratorium komputer, ujian hari terakhir pun siap di mulai. Arina membaca lalu menjawab satu per satu pertanyaan yang tertera di layar komputer. Hingga pada satu nomor soal, dia menemukan segelintir kalimat yang sedikit menusuk hatinya.
Segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rencana semesta. Masing-masing sudah di takdirkan dan di gariskan. Walau kamu sudah berusaha sekuat tenaga untuk berada di sana, jika semesta tidak mengizinkan kamu tetap akan terlempar jauh. Dengan rasa sakit yang begitu hebat. Tentu saja itu semua bukan salahmu atau manusia yang lain. Semua itu sudah di rencanakan dengan matang oleh semesta. Berhenti lah menyalahkan dirimu sendiri dan mereka yang sudah membuatmu merasa sakit.Arina tersentuh sadar. Air matanya pun tidak bisa ia tahan lagi. Waktu ujian masih tersisa 15 menit lagi, namun dirinya ingin sekali keluar sekarang. Dadanya semakin terisak oleh sakit yang ia rasakan. Ia menutupi wajahnya yang sudah mulai sembap karena menangis.
Tanpa sadar, bayangannya pun mulai kabur. Tubuhnya terasa begitu lemas. Sampai..
“Arina.. Arina..”
“Arina..”
“Are u okay?”
“Arina..”Hanya itu kalimat yang bisa ia dengar sebelum akhirnya ia jatuh pingsan di dalam ruang ujian.
**
“Arina..”
Bayangan yang ada di mata Arina yang semula gelap hitam kini berubah menjadi terang. Ia melihat sekelilingnya, benar ia berada di UKS sekarang. Kepalanya masih terasa sangat pusing, tubuhnya pun masih begitu lemas.
“Kak Bian..” lirih Arina.
“Iya ini kakak. Kamu jangan khawatir, kakak di sini kok.”
Arina tersenyum. Dia memegang erat tangan Bian, seakan tidak ingin melepasnya untuk pergi. Bian mengelus rambut adiknya dengan penuh cinta. Ia juga merasa begitu tersiksa melihat Arina seperti sekarang ini. Dia seolah kehilangan adiknya yang dulu sangat periang dan cerewet. Melihat Arina yang semakin lemah, Bian memutuskan untuk tidak tinggal diam. Dia harus mencari tau apa yang sudah terjadi dengan adiknya. Bian sudah tidak sabar lagi jika harus terus-menerus diam sedangkan Arina begitu merasa tersiksa.
“Lu gak apa Rin?” ucap gadis yang baru saja datang dengan membawa sejuta kekhawatiran di matanya.
Arina mengangguk, “I’m okay.”
“Lu mau gua beliin apa? Pizza? Milkshake? Apa apa?”
“Gak usah Ray. Gua gak apa.”
“Jangan gini lagi. Untung aja ujian kita udah selesai.”
“Gea mana?”
“Gea udah di jemput sama mamanya tadi. Katanya ada wawancara gitu.”
“Kakak keluar bentar ya. Kamu istirahat dulu bentar, habis ini kita pulang.”
Bian pamit keluar ruangan sebentar dan meminta Raya untuk menjaga Arina sebentar. Dia harus menelpon seseorang, sehingga ia harus sedikit menjauh dari Arina.
“Lu dimana?”
..
“Temui gue besok sore di loodst.”
..Setelah membuat janji temu dengan seseorang, Bian kembali ke ruangan Arina. Dia mengajak Arina untuk pulang dan beristirahat di rumah. Akan lebih baik untuk dirinya berada di rumah sekarang ini, di kelilingi oleh orang-orang yang sayang kepada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINGIN [COMPLETED] ✓
Teen Fiction#1 in Kagum "Hebatnya orang yang jatuh cinta diam-diam. Ia bisa menyembunyikan perasaannya dibalik senyuman" senyum Arina mulai memudar. Dia menahan sakit begitu hebatnya..